NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerintah dan Polisi dinilai belum rela kasus Papua ditangani TNI. Pemerintah tampak masih enggan menyebut serangkaian teror di Kabupaten Nduga, Papua sebagai ulah Gerombolan Separatis Bersenjata Operasi Papua Merdeka (GSB-OPM). Sebaliknya penyebutan kukuh disebut sebagai ulah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Sementara menurut Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Kiki Syahnakri, pada Jumat (7/12/2018) menegaskan bahwa teror di Papua adalah ulah GSB-OPM dan bukan KKB. Karena aksi mereka sudah bisa dikategorikan sebagai pemberontak bersenjata terhadap NKRI dan memenuhi syarat sebagai kelompok kombatan.
Menanggapi kenyataan itu, Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW), Neta S Pane menilai ada pesan kuat bahwa pemerintah dan Polri tidak rela jika penanggulangan keamanan di Papua diambil alih TNI.
“Ironis memang! Dalam kasus Papua, nama menjadi hal penting. Sebab nama untuk menunjukkan siapa yang paling depan untuk mengamankan dan mengendalikan Papua dari konflik bersenjata,” kata Neta S Pane kepada redaksi NUSANTARANEWS.CO melalui pesan WhatsApp, Jumat (7/12).
Dirinya cukup menyayangkan. Padahal apalah arti sebuah nama, jika pemerintah, TNI dan Polri bisa benar benar solid untuk memberantas aksi bersenjata kelompok OPM (Operasi Papua Merdeka) yang merugikan rakyat.
“Memang dengan sebutan KKB, status Papua, baru sekadar gangguan keamanan, sehingga Polri yang di depan memimpin penjagaan keamanan di Papua,” sambungnya.
Mengenai kasus pembantaian yang menewaskan puluhan orang di Nduga, pada 1-2 Desember 2018 lalu, menurut Neta, polisi telah kecolongan dalam menjaga keamanan Papua. “Polisi seakan tak berdaya,” ungkapnya.
“Terkesan sejumlah kalangan polisi maupun masyarakat sipil di Papua belum rela meningkatkan status Papua. Dengan kata lain mereka belum rela pengamanan Papua diambil alih TNI,” terangnya.
Sebagai informasi, dalam beberapa bulan terakhir setidaknya aksi teror yang dilakukan oleh Gerombolan Separatis Bersenjata di Nduga sudah terjadi 3 kali. Terakhir pada 1-2 Desember 2018 yang menewaskan 31 warga.
“Paling tidak di daerah Nduga aja sudah 3 kali, dalam beberapa bulan terakhir. Pertama sejak Pilkada, habis itu dua bulan yang lalu mengalami kejadian yang sama, yang paling besar kan memang ini,” ujar Komisioner Komnas HAM, Amiruddin, Jakarta Rabu (5/12).
Pewarta: Romadhon
Editor: Almeiji Santoso