Peluk Setiap Penyair, 1
ya, jantungmu, kekasih, yang berulang menabung rindu penuh racun
uapnya meniadakan resah sekaligus risalah cinta yang diam memendam malam
matamu, menggugurkan jarum-jarum hujan, bercinta dengan tanah yang rekah
jangan dulu, katamu. sebab musim masih sembab, kata menyanyikan kota yang silap
dibunuh mimpi dan janji-janji, siapa lagi akan berkata merawat perih selain bocah peminum air mata
hidup hanya sepenggal bayang-bayang, menitah penyair yang berdatangan ke curam raga
ingin meminum seluruh sakitmu. kau bilang dendam bisa merajam, tapi kobar dari setiap pelukan
adalah keinginan untuk terus mencintaimu dalam senyap perjamuan—
kita lihat orang-orang
mengarak tuhan
atas nama kitab-kitab suci
meludah kepada peribahasa
Surabaya, September 2019
Dari yang Datang, Kemudian Hilang
sesudah Chairil,
datang penyair yang mengenakan mantel hujan
menulis anak-anak gerimis
yang lapar bahasa
dari yang datang kemudian hilang,
aku lebur dalam huruf-huruf mimpi
ada yang meracik luka dari aroma matahari gugur
tapi bukan kamu
atau apa yang kau sebut raung hari lalu
sekadar berjalan mencari sebab
mengapa yang datang
menolak pulang
dan yang pergi
mencari muasal cinta yang sunyi
mengurung bayang yang rimbun kenangan
harum silam membentang kalbu ibu
debarnya aroma maha lapar:
urung kau santap
: ingin kusesap
Surabaya, September 2019
Kenapa Kau Tulis Aku Sebagai Puisi
tahun kian mabuk, penyair tumbang di ujung kata-katanya sendiri
tafsir tak cukup menampung makna yang tak selesai diurai
kenapa kau tulis aku sebagai puisi
sedangkan penyair-penyair telanjur bunuh diri
lembar-lembar koran memakamkan jasad mereka
meski kafan dan kabung air mata tanpa upacara
maut menyulam tubuhnya
sebagai kata yang merdeka
Surabaya, September 2019
Romansa Kedai
barangkali sepedih dendam
kusesap kesedihanmu
buku-buku roman membuka lembar
bagi cinta yang tak kau tuliskan
sebagai puisi
Surabaya, September 2019
Tak Ada yang Lebih Percaya Selain Penyair
serupa juni yang abai,
hujan sembunyi
ke bilik rahasia
semayam kekasih
meninggalkan kisah roman
di jalan lengang
jalan yang membentang dari kembara laparku
lapar yang berujung puisi picisan
kutulis larik yang mengungkap malammu
masih ada yang termakan kabar
kota-kota belum pulih dari kobar silam
hanyut dalam gerimis dendam
perulangan hujan yang mendidih
dari belukar jantungmu
Surabaya, September 2019
Penulis: Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Puisi-puisinya dimuat Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Koran Banjar, Tribun Bali, Koran Merapi, Sumatra Ekspress, Palembang Ekspress, Buletin Jejak, Majalah Santarang, tatkala.co, nusantaranews dan Lokomoteks. Buku puisi tunggalnya TALKIN (2017) dan Suara Tanah Asal (2018). Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga.