NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI, Ena Nurjanah ingin kegiatan pelibatan anak-anak dalam dunia politik disudahi. Dalam sejumlah kampanye politik atau aksi demonstrasi, kerap dijumpai anak anak di bawah umur dilibatkan.
Ena Nurjanah menjelaskan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) no.35 tahun 2014 sebenarnya sudah gamblang menyatakan larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, sekaligus memuat poin tentang sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelanggar pasal tersebut.
“Pasal 15 dari UU PA menyatakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Pelibatan dalam sengketa bersenjata. Pelibatan dalam kerusuhan social. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan,” ujar Ena dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/6/2019).
Kemudian lanjut dia, sanksi hukum terhadap para pelanggarnya ada di dalam Pasal 87 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H. Yaitu bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah),” jelasnya.
Dengan melihat kasus yang masih hangat terjadi, pelibatan anak dalam dunia politik nampaknya belum ada kata berhenti. Anak-anak masih terus saja menjadi komoditas politik.
“Kerentanan pemahamanan anak telah dijadikan sarana bagi mereka yang punya ambisi untuk memasukkan pemahaman orang dewasa dalam benak anak-anak yang polos,” terangnya.
Ena Nurjanah menjelaskan, anak-anak adalah figure yang masih terus bertumbuh dan berkembang. Cara berpikir mereka juga masih terus berproses untuk menjadi matang. Maka wajar saja seorang anak dengan mudah kagum dengan tokoh yang mereka lihat punya kekuatan atau popularitas.
Kerentanan cara berpikir anak juga membuat seorang anak dengan mudah tunduk kepada pihak yang lebih berkuasa, punya otoritas, baik itu orangtua, guru, maupun orang dewasa lainnya yang memiliki relasi kuasa atas dirinya.
“Cara berpikir anak yang belum matang membuatnya sangat mudah untuk dimanfaatkan dan diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan oleh orang dewasa.”
“Dengan demikian, sudah selayaknya dipahami oleh semua pihak bahwa setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dalam dunia politik maka yang seharusnya disasar adalah para orang dewasa,” tandasnya.
Pewarta: Romandhon