Berita UtamaLintas NusaPolitikTerbaru

Aglomerasi RUU DK Jakarta

Aglomerasi RUU DK Jakarta

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Perubahan Jakarta tidak lagi menjadi Ibukota negara Indonesia, mendekati kenyataan. Belakangan ini para politisi di kompleks parlemen Senayan, tengah membahasnya.

Lewat Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (Baleg DPR RI), Jakarta dibedah. Pemerintah dan DPR membahas Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).

Rancangan tersebut bikin heboh. Menjadikan perbincangan, baik dari akademisi maupun masyarakat. Maklum, ada isu santer draft undang-undang tersebut soal dipilih-tidaknya gubernur secara langsung. Ditambah lagi, draft tersebut masuk paling buncit  dalam materi RUU DKJ.

“Meskipun menimbulkan perdebatan,  kami masih menunggu sikap akhir dari pemerintah untuk membahasnya kembali bersama fraksi-fraksi di DPR,“ kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas kepada Nusantara News, Rabu (13/03/2024) di Jakarta.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian langsung menjawab isu tersebut. “Sikap pemerintah, kepala daerah tetap dipilih langsung. Bukan ditunjuk oleh presiden,” Tito menegaskan dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI.

Karena, katanya, sejak awal isi draft pemerintah tertulis bahwa gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditunjuk presiden.

Baca Juga:  Alumni SMAN 1 Bandar Dua Terpilih Jadi Anggota Dewan

Secara umum materi RUU DKJ terdiri atas 12 bab dan 72 pasal dengan empat sistematika dan materi muatan, yaitu tentang (1) Kekhususan yang diberikan kepada Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi.

(2) pengaturan untuk mengatasi permasalahan yang ada di Jakarta dan wilayah sekitarnya, serta mensinergikan antar-daerah penunjang yang ada baik Jakarta itu sendiri, Bogor, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, maupun Cianjur; (3) Pengaturan tentang pemantauan dan peninjauan atas undang-undang ini.

Tito mengungkapkan, pemerintah telah mengirimkan surat presiden ke DPR. Berisikan daftar inventaris masalah sebanyak 734, dari 592 batang tubuh dan 142 penjelasan pasal.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia ketika ditemui wartawan beberapa hari yang lalu di DPP Golkar, Jakarta, menjelaskan bahwa RUU DKJ juga bertumpu pada konsep aglomerasi. “Seperti yang telah dilakukan saat pemekaran wilayah Papua,” katanya.

Kawasan aglomerasi, dalam RUU DKJ, nantinya akan dibuat seperti dewan pengarah. “Soal siapa nantinya yang akan mendapat wewenang mengurusnya, nanti akan dibahas dalam Baleg,” ujar Wakil Ketua Umum Golkar ini.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Ia kemudian menerangkan, seperti Papua yang dimekarkan menjadi enam provinsi. Lalu dibentuk semacam dewan pengarah, sifatnya administratif, yang tugansnya memberi laporan ke presiden. Namun, dewan ini bukan atasannya gubernur, bupati dan wali kota.

Untuk Jakarta, tidak cukup hanya diurus oleh satu menteri koordinator (Menko) yang mengurus aglomerasi ini. “Otoritas mengaturnya meski setingkat presiden atau wakil persiden,” ungkap Ahmad Doli.

Presiden atau Wapres, soal masalah Jakarta, akan berwenang melakukan koordinasi lintas-Menko, untuk membahas soal ekonomi, politik maupun kemasyarakatan. Banyak yang perlu dibenahi di Jakarta, mulai dari masalah kemacetan, polusi, transportasi, banjir dan lain-lain.

Sementara itu pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, setuju bila gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk langsung oleh presiden dengan memperhatikan pendapat atau usulan DPRD.

Wacana itu tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) draf RUU DKJ. Beleid ini telah disetujui menjadi RUU usulan DPR RI dalam rapat paripurna, Desember tahun lalu.

Baca Juga:  Kuasa Hukum Kasus RSPON Minta AHY Usut Dugaan Mafia Tanah di Jakarta

“Konsep dipilih langsung oleh presiden akan mengurangi biaya politik,” kata Trubus. Akan terjadi efesiensi anggaran, ia melanjutkan,  tidak terjadi pemborosan saat kita  menjalankan demokrasi.

Juga, katanya, dalam Undang-Undang Nomor 23/2014, Pasal 38 ayat (1) tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh sebab itu, ia berpendapat seharusnya gubernur tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat lewat Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).

Lagi pula selama ini, gubernur tidak melulu setiap hari berhubungan langsung dengan masyarakat, katanya. “Yang bertemua langsung ke warga kan bupati atau wali kota,” jelasnya.

Trubus memberi contoh Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.Selama selama ini, wilayah tersebut tidak pernah menjalankan Pilkada. Namun, hingga kini pemerintahan daerahnya mampu dikelola efisien dan berjalan baik. (Aris Mohpian Pumuka)

Related Posts

1 of 11