NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Patung Jenderal Perang Cina Kwan Sing Tee Koen di Tuban, Jawa Timur telah resmi ditutup. Penutupan patung yang peresmiannya dihadiri ketu MPR Zulkifli Hasan tentu tidak lepas dari beragam protes dari publik menyusul. Dimana, patung tersebut sama sekali tidak memiliki ketersambungan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Patung Jendral Perang Cina Kwan Sing Tee Koen setinggi 30,4 meter itu telah ditutupi dengan kain putih meski masih tetap utuh berdiri di halaman belakang klenteng Kwan Sing Tuban yang berada di jalan RE Martadinata, Kota Tuban. Berdasarkan laporan yang diterima redaksi, Minggu (6/8/2017) lalu, penutupan itu dilaksanakan mulai Sabtu (5/8) pukul 13.10 WIB sampai dengan Minggu (6/8) pukul 13.00 WIB dan bertempat di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban.
Kendati patung kontroversial telah resmi ditutup, sejumlah pertanyaan masih muncul, misalnya, kenapa harus didirikan di Tuban? Sebagaimana galibnya, disebutkan bahwa tidak sesuatupun ada tanpa sebab dan tujuan. Menanggapi hal itu, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Jawa Barat, Radhar Tri Baskoro angkat bicara.
Radhar Tri Baskoro mencoba menoleh ke masa lalu untuk membaca sejarah yang berkaitan dengan Patung Jenderal Perang yang dikecam oleh para aktivis Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo) itu.
Menurut Radhar, pada bulan Maret 1293 balatentara Cina di bawah dinasti Yuan mendarat di Tuban untuk memulai misi penaklukan Nusantara. Dengan kekuatan 20.000 tentara bersenjata meriam yang termasuk teknologi militer tercanggih waktu itu Kaisar Cina, Kubilai Khan yakin akan mampu mengalahkan Singasari yang berkuasa di sana.
“Kaisar Cina harus menggigit lidahnya sendiri. Tentaranya dipukul mundur dan harus kabur secara memalukan, gagal mencapai misinya,” kisahnya melalui pesan tertulisnya yang diterima, Rabu, 1 Agustus 2017.
Radhar menceritakan bahwa, ketika itu, salah seorang yang menghancurkan impian Kaisar Cina itu adalah Ranggalawe. Dialah panglima perang Majapahit, orang kepercayaan Raden Wijaya yang siasat dan keberaniannya berhasil membikin tentara Cina lari tunggang-langgang. Atas jasanya itu, Ranggalawe kemudian diangkat sebagai Bupati Tuban yang pertama.
“Ranggalawe karena itu menjadi tokoh militer legendaris. Dia dikenal sebagai pribadi yang keras, berani, namun sangat jujur dan sangat setia. Belakangan Ranggalawe mati akibat intrik dari dalam istana,” imbuhnya.
Kepribadian Ranggalawe, sambung Radhar, sesungguhnya sangat mirip dengan Kwan Kong. Maka saya menjadi heran. Apakah rakyat Tuban telah melupakan Ranggalawe, bupati Tuban pertama? Kenapa untuk melukiskan kepribadian tokoh militer yang hebat, keras, berani, jujur dan setia, harus mengambil tokoh dari Cina?
“Jangan salah, saya menyukai Kwan Kong sebagai tokoh sejarah yang sudah saya baca sejak saya kecil. Tetapi saya benci patung itu. Patung itu seperti melambangkan penaklukan. Patung itu seperti berkata, ‘Hei Ranggalawe lihatlah, akhirnya kutaklukan juga tanahmu ini!!!’,” cetus Radhar tegas.
Baca artikel dan/atau berita-berita lainnya seputar: Kontroversi Patung Jendera Perang Cina di Tuban
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman