NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini memperoleh penghargaan sebagai Menteri Terbaik Dunia di ajang World Government Summit yang digelar di Dubai, Uni Emirates Arab. Titel sebagai menteri terbaik dunia yang disandang Sri Mulyani tampak paradoks ketika dihadapkan kenyataan tentang kondisi real keuangan dan ekonomi Indonesia saat ini.
Selain utang negara yang terus tak terbendung hingga mencapai 4.636 triliun per Januari 2018, saat ini Indonesia juga kalah bersaing dengan negara-negara tetangga. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, ekonomi Indonesia jelas kalah telak. Sebut saja pertumbuhan ekonomi Singapura 5,5%, Malaysia 6,2%, Thailand 6%, Filipina 6,9%, Vietnam 7,5%. Sementara Indonesia tetap tak beranjak dari angka 5,02%.
Bahkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, menyebutkan sejak tahun 2014 hingga 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu gagal tembus target yang ditetapkan. Tahun 2014, ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02%, angka ini jauh dari asumsi dasar yang dipatok pemerintah dalam APBN yakni sebesar 5,5%. Kemudian pada 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh di angka 4,88%. Angka ini menjadi paling rendah sejak enam tahun sebelumnya.
Sementara pada 2016, hanya tembus 5,02% dari target yang diincar sebesar 5,1%. Selanjutnya, pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi nasional kembali gagal tembus target yang ditetap yakni 5,2% dengan hanya mampu mencapai 5,07%.
Paradoks lain, penghargaan Sri Mulyani dengan situasi ekonomi Indonesia juga tampak pada laporan growth (pertumbuhan) Pendapatan Domestik Bruto (PDB) perkapita Indonesia. Dimana growth PDB perkapita Indonesia saat ini menempati rangking terburuk, terhitung sejak tahun 1999 di era Gus Dur.
Di era Gus Dur (Abdurrahman Wahid), pertumbuhan PDB rata-rata mencapai 22,6% pertahun. Era Megawati mengalami penurunan tajam yakni rata-rata pertahunnya 10,09%. Naik kembali era SBY dengan PDB perkapita mencapai 14,5% pertahun. Dan kembali anjlok di era Jokowi dengan PDB rata-rata pertahunnya hanya mencapai 8,6%.
Sementara itu, program tax amnesty yang digadang-gadang bisa memberikan suntikan dana segar ke negara, pada laporan akhir 2017 tenyata tak memberikan dampak yang signifikan. Bahkan tak berbanding lurus dengan harapan.
Lebih parahnya lagi, dua kebijakan lain milik Sri Mulyani mengenai tax allowance dan tax holiday selama pemerintahan presiden Jokowi hasilnya sepi peminat. Bahkan Sri Mulyani mengaku bingung, mengapa tax allowance dan tax holiday tak dilirik para investor.
Inilah, alasan mengapa penobatan Sri Mulyani sebagai Best Minister in the World Award menjadi tampak sangat paradoks. Bahkan cenderung politis. Tak ubahnya sebagai strategi menghadapi hajatan 2019. (red)
Editor: Romandhon