NUSANTARANEWS.CO – Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya mengandung suatu konsep, prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan saja merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis.
Setelah memahami Pancasila sebagai Filsafat, kiranya kini Pancasila perlu dikaji untuk mengungkapkan, memahami dan meyakini kebenaran Filsafat Pancasila dari segi penelaahan dasar filsafat. Penelaahan dasar filsafat dimaksudkan di sini adalah menelaah Pancasila dari segi filsafat ontologi, epistemologi dan dari segi aksiologi.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai bagian dari ilmu metafisika yang mendalami masalah esensi segala sesuatu atau kehidupan. Concise Oxford Dictionary (COD) mwemberikan makna ontologi: department of metaphysics concerned with things or beings. Jelasnya ontologi mempelajari kenyataan yang ada secara kritis membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Dalam membahas Filsafat Pancasila secara ontologis, ternyata dari kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, yang dapat dikatakan sebagai awal keberadaannya, Pancasila merupakan wujud manifestasi usaha perjuangan manusia Indonesia untuk mengembalikan kemanusiaannya, kehidupan-nya dan kebebasannya sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari kelahirannya dapat dipahami bahwa keberadaan Pancasila berpusat pada manusia.
Dari konsep dan prinsip yang terkandung di dalam Pancasila, jelaslah bahwa manusia yang menjadi pusat keberadaanya itu mengaku dirinya dengan segala kodrat, harkatnya dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. yang berusaha mengembangkan kehidupan dan kemanusiaannya secara adil dan beradab, dalam suasana persatuan bangsanya secara rukun bergotongroyong mewujudkan kesejahteraan secara adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam menelaah Pancasila dari segi epistemologi, dapat dikatakan bahwa epistemologi secara mudahnya dapat dipahami sebagai teori tentang metode atau dasar dari pengetahuan. Menurut COD epistemologi diberi makna theory of the method or grounds of knowledge. Jelasnya epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki sumber, proses, syarat terjadinya, serta makna dan nilai ilmu pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan, yang dapat dijadikan pedoman bangsa Indonesia untuk memahami realitas alam semesta, masyarakat, bangsa dan negaranya guna mendapatkan makna hidup dan kehidupannya. Di samping itu, Pancasila juga dapat dijadikan pegangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupannya. Dengan demikian Pancasila dapat dikatakan menjadi sistem cita-cita dan keyakinan, sehingga sekaligus menjadi ideologi yang mengandung logos, pathos, dan ethos.
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan dikatakan mengandung logos, sebab dalam wujud dirinya merupakan logos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai kata, wacana, ucapan, diskursus, yang sebagai pengetahuan mempunyai dasar alasan dan penalaran yang logis serta dapat diterima.
Di samping mengandung logos, Pancasila dikatakan juga mengandung pathos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai perasaan, emosi, pengalaman yang menyentuh hati atau menyedihkan (bahasa Jawa trenyuh). Memang Pancasila saat dilahirkannya diucapkan dengan penuh perasaan dan kegairahan yang dalam oleh penggalinya, karena sebenarnyalah Pancasila merupakan soliditas perasaan, pemikiran dan kehendak hati yang terdalam dari penggalinya untuk membawa bangsanya terlepas bebas dari penjajahan, kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan. Bukan saja saat dilahirkan mengandung pathos dalam diri yang mengucapkan, tetapi juga menimbulkan pathos bagi pendengarnya, sehingga saat itu, saat diucapkan untuk ditawarkan sebagai dasar negara, mendapat sambutan tepuk tangan yang sangat menggairahkan dan serta merta diterima sebagai suatu solusi dari permasalahan yang ada saat itu. Penggalinya benar-benar mampu dan kompeten memanfaatkan pathos, dalam arti teknik komunikasi dalam retorika, berhasil mengungkapkan pathos dirinya dan menggugah pendengarnya.[]
Penulis: Soeprapto (Ketua LPPKB)