Pakar Saling Berselisih Terkait Setnov, Lalu Mana yang Benar?

Pakar hukum tata negara berselisih pendapat terkait penetapan tersangka Setya Novanto. Foto: Ilustrasi/Via Sadeqin

Pakar hukum tata negara berselisih pendapat terkait penetapan tersangka Setya Novanto. Foto: Ilustrasi/Via Sadeqin

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan penetapan tersangka Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dibenarkan secara hukum. Ia mengatakan, di dalam UU MD3 diatur bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas. Karenanya, setiap anggota DPR, termasuk Setya Novanto memiliki kekebalan hukum.

“Kekebalan itu diatur dalam konstitusi dari pasal 245 UU No 17 tahun 2014 tentang MD3,” kata Margarito, Jakarta, Jumat (17/11) lalu.

Pasal 245 menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan; dan dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan,
dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

Sedangkan Pasal 245 ayat 3 huruf c menyebutkan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.

“Sejak kapan SN (Setya Novanto – red) diperiksa sebagai calon tersangka, malah penetapan sebagai tersangka itu tidak sah, baik calon tersangka maupun penetapan tersangka itu tidak sah. Apalagi pemeriksaan dia tidak dengan izin presiden semakin tidak sah, kalah KPK itu. KPK suruh buka pasal 56 ayat 1 UU KPK, suruh KPK baca yang benar,” jelas Margarito.

Sementara itu, pasal 56 ayat 1 UU KPK berbunyi (1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc; (2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung; (3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung; dan (4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3, Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.

Berbeda dengan Margarito, Pakar Hukum Tata Negara lainnya Refly Harun mengatakan tidak tepat kalau Setya Novanto berlindung di bawah UU MD3 pasal 245 ayat 1 UU No.17 Tahun 2014 tersebut.

“Menurut saya tidak tepat jika ketua DPR berlindung di pasal 245 UU MD3 karena baik sebelum maupun sesudah judicial review oleh MK,” kata Refly, Senin (6/11).

Refly menjelaskan, ketentuan ijin tidak berlaku pada tindak pidana khusus. “Kita tahu sebelum adanya judicial review ijin itu di berikan oleh MKD, setelah judicial review izin itu diberikan oleh presiden, tapi tidak berlaku untuk tindak pidana khusus. Telah kita tahu bahwa korupsi adalah tindak pidana khusus. Bahkan dilabeli sebagai extra ordinary crime,” terang Refly.

Terlepas dari itu, Margarito melihat dalam penetapan tersangka Setnov, KPK cenderung lebih menggunakan sentimen publik untuk menetapkan tersangka seseorang. “Kalau begini, KPK bisa dinilai menggunakan sentimen publik terhadap korupsi untuk mengacak-acak konstitusi dan hukum,” kata dia. (red)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version