Nurani
Nurani Saraswati. Nama yang indah sebetulnya. Meskipun aku tidak pernah terang-terangan memujinya dengan kata “indah”. Persoalannya sederhana saja, waktu umurku menginjak tigabelas tahun, Nurani ikut diboyong ibunya, Fatimah, ketika sang ibu menjadi pembantu di rumahku. Tapi lama kelamaan ada sesuatu yang janggal, khususnya ketika Ibuku lebih menyayangi Nurani ketimbang anaknya sendiri. Itulah yang membuat aku sering mencak-mencak kenapa Ibu lebih mementingkan kebutuhan anak seorang pambantu yang menjengkelkan itu.
Suatu kali Ibu membelikan Nurani sepeda untuk berangkat sekolah di pagi hari. Aku protes keras mengapa harus sepeda yang warna dan kualitasnya sama dengan sepedaku. Kenapa tidak dibelikan yang butut saja, supaya teman-teman di SMP tidak ada yang tahu bahwa dia adalah gadis yang tinggal serumah dengan aku.
Ibu Nurani, Fatimah, mungkin sepantaran Ibuku, sekitar 40-an umurnya. Tapi karena terbiasa hidup di kampung pedalaman kelihatannya lebih tua dari Ibuku. Bapaknya konon sudah meninggal karena kecelakaan waktu menebang kayu di daerah Banten Selatan. Berarti Nurani Saraswati adalah anak yatim, yang kemudian disekolahkan oleh keluarga kami, lalu tinggal di sebelah kanan rumah yang tersekat dengan tembok dinding.
Lantas persoalannya, bagaimana dengan teman-teman sekelasku yang kontan mengira bahwa Nurani yang hitam dekil itu adalah saudaraku. Bagaimana pula dengan warna sepeda yang sama, yang siapa tahu akan ada orang menyangka bahwa dia adalah saudara kembarku sendiri.
Pernah waktu sepedaku kempes dan pedalnya patah, aku mengusulkan pada Ibu agar mengganti sepedaku dengan milik Nurani, tapi sialnya ditolak oleh Ayah:
“Itu masalah perawatan, Asep. Kalau cara merawatmu bagus seperti Nurani, sepeda kamu bisa awet dipakai sampai bertahun-tahun,” kata Ayah.
Dasar Nurani. Sewaktu dia diajak pergi kondangan ke rumah kerabat Ibu, tahu-tahu dia mengenakan baju baru dengan kerudung berenda-renda. Kontan saya selidiki asal-muasalnya, yang ternyata beberapa hari lalu Ibu telah membelikan dua setelan baju, dan yang satu diberikan kepada Fatimah ibunya.
Walah welah, kerudung berenda-renda. Segeralah aku menghampiri Ibu dan menggugat soal ketimpangan dan kesewenangan ini, namun beginilah jawab Ibu:
“Asep, beberapa minggu lalu Ibu sudah belikan kemeja untuk kamu, belum lagi bekas lebaran kemarin?”
“Apa? Kemeja bekas lebaran? Sekarang model-model pakaian sudah bagus-bagus, Bu.”
“Sep, yang dibelikan Ibu minggu kemarin itu lebih mahal harganya daripada punya Nurani.”
“Kalau Nurani dibelikan baju baru, mestinya aku juga dibelikan dong. Itu baru namanya orang tua yang adil!”
“Ini bukan perkara keadilan, Sep. Kalau kamu rajin merawat pakaian seperti Nurani, tentu model apapun kemeja atau kaos yang kamu inginkan, pasti Ibu belikan.”
Suasana hening dan sendu. Ayah tidak memberi komentar apapun, sepertinya ia berpihak kepada Ibu. Fatimah sedang menyiram tanaman di sekitar kebun, sedangkan Nurani sedang mengepel lantai rumah, meski kemudian aku larang untuk memasuki kamarku dengan dalih bahwa caranya mengepel kampungan, tidak bersih, norak dan seterusnya dan sebagainya.
Pernah juga waktu ia mengelap jendela kamarku yang berdebu dengan kemoceng, kemudian ia menyentuh mainan yang kurakit dan kususun rapi, kontan aku damprat dengan alasan kalau mainan itu jatuh bagaimana, terus kalau pecah bagaimana, berikut macam-macam alasan yang aku buat agar dia kapok kelimpungan, ke sini salah ke situ salah.
Tapi dasar Nurani, sepertinya dia tenang-tenang saja. Bahkan ketika dia diutus oleh kepala sekolah untuk mewakili perlombaan baca puisi tingkat SMP, enak saja dia meminjam baju batik milikku. Dasar perempuan tomboy. Kontan saja aku mencak-mencak, bahkan menyuruhnya agar
minta pada ibunya sendiri supaya beli batik ke Pekalongan sana. Pergi jauh-jauh.
“Nurani itu diutus oleh sekolahmu untuk mengikuti lomba baca puisi, mestinya kamu berbaik hati untuk meminjamkan baju batik kepadanya,” ujar Ibu sambil menisik kerudung di ruang depan.
“Sebodo amat! Lomba puisi kek, pantun kek, syair kek… kenapa Ibu selalu saja membela dia?”
“Ini bukan soal bela membela, Asep… ini soal kebaikan yang harus Ibu ajarkan buat kamu, bahwa kita harus bersikap loyal kepada sesama manusia.”
“Alaah bukan soal bela-membela, bukan perkara keadilan… selama ini Ibu nggak pernah mendukung aku?”
“Tentu saja Ibu akan mendukung yang baik dan benar Nak.”
“Tapi apakah aku belum pernah berbuat baik selama ini?”
“Sudah banyak kebaikan yang kamu lakukan, tapi masih ada juga kesalahan-kesalahan yang harus diluruskan.”
“Semua manusia tidak lepas dari salah dan dosa, Bu!” sanggahku dengan ketus.
“Tapi kita tetap harus melakukan yang terbaik, Nak.”
Langsung saja aku simpulkan bahwa Ibu terlalu memihak Nurani, hingga aku uring-uringan di dalam kamar, bahkan selama beberapa hari menyalahkan Bapak Kepala Sekolah, kenapa harus memilih Nurani sebagai utusan perlombaan, dan bukan aku yang harus dipilih.
Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan Nurani berbuat semaunya, sesuka hatinya. Sebodo amat, biar mampus sekalipun. Suatu kali ia mengendarai sepeda sepulang sekolah, tapi kemudian terpeleset karena tanah yang becek. Kontan aku biarkan saja, bahkan aku syukurin dia. Pada betis kirinya ada sedikit luka bekas tergores pedal sepeda. Tapi apa yang terjadi kemudian: rupanya si Faisal teman sekelasku yang paling lugu dan polos itu tiba-tiba menolong dia.
Kurang ajar, sialan! Faisal yang dungu dan bloon itu tahu-tahu berbaik hati padanya? Bahkan mengangkat punggungnya sewaktu Nurani terbangun dari jatuhnya? Walah welah… barangkali dunia ini sudah mau kiamat!
Hari-hari berikutnya aku makin bersikap dingin pada Nurani. Selama beberapa hari aku diamkan saja. Meski dia tersenyum ketika berpapasan dengan aku. Sewaktu dia pulang sekolah dan mencium tangan ibunya dan Ibuku, aku melengos ke arah tembok. Dan sewaktu coba-coba dia menyalami aku, kontan aku tarik tanganku ke belakang, segera aku sumpetin telapak tanganku ke dalam kantong, sambil mendengkus kesal.
“Sebagai pelajar yang baik, mestinya kamu harus bisa memaafkan orang lain, Sep,” seperti biasa Ibu berkhotbah di depanku, dan aku pun membalas sebaiknya Ibu jadi penceramah atau mubalighoh sajalah.
“Kebaikan tetap akan dibalas kebaikan, meskipun dilakukan oleh tukang sampah atau presiden sekalipun,” lagi-lagi Ibu berceramah.
Maka tibalah saat ketika anak-anak kelas satu sampai kelas tiga berkumpul di aula, serta dihadiri pula oleh wali murid, para guru dan kepala sekolah. Saat itu digelar acara silaturahmi antar pihak sekolah dan wali murid bersamaan dengan acara “halal bihalal” yang diselenggarakan oleh sekolah kami. Setelah sambutan kepala sekolah, tampillah seorang guru pembimbing membacakan hasil prestasi yang diraih anak-anak sekolah kami, yang telah mengikuti perlombaan-perlombaan antar-sekolah beberapa waktu yang lalu.
Seketika nama Nurani Saraswati disebut lantas maju ke depan untuk menerima penghargaan. Tepuk-tangan riuh membahana dari seluruh murid, para guru dan para undangan. Aku baru tahu kalau ternyata si Nurani telah memperoleh juara pertama pada perlombaan baca puisi tingkat SMP yang diadakan di gedung kebudayaan beberapa saat lalu.
Nampak ayahku tersenyum gembira, juga Fatimah ibu Nurani. Aku pun melirik ke wajah Ibu yang meneteskan air mata saking bangganya. Ibu membisikkan sesuatu ke telingaku agar berbaik hati pada Nurani serta memohon maaf kepadanya.
Dengan penghargaan di tangan kirinya, setelah turun dari mimbar kontan aku menghambur ke arah Nurani, kemudian memeluknya erat-erat sambil mengucapkan maaf atas kekhilafan yang selama ini aku lakukan kepadanya.
Nurani Saraswati. Nama yang indah sebetulnya. Kini aku pun harus berani dengan jujur mengakuinya…. ***
Penulis: Hafis Azhari