Ekonomi

Nilai Rupiah Memburuk Karena Pemerintah Tidak Solid dan Kurang Sensitif

Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)
Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Nilai Rupiah terus mengalami kemerosotan. Salah satu faktor utamanya dinilai datang dari internal pemerintah sendiri. Dimana tim ekonomi pemerintah dianggap tidak solid selama ini. Sebagai contoh antara menteri yang satu dengan menteri yang lain justru cenderung berkonflik.

“Tim ekonomi kita itu tidak solid. Antara menko dan menterinya berkelahi. Antara satu menteri dengan yang lainnya, apa artinya. Ada masalah leadership kepemimpinan ekonomi yang berat pada saat ini,” tutur Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun dengan tema “Ekonomi Pasca Pilkada” yang digelar oleh Indef di Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Menurut Didik ketidaksolidan tersebut berdampak pada kondisi nilai tukar saat ini yang semakin tidak terkendali. “Yang tidak sensitif adalah nilai tukar rupiah. Karena faktornya nilai tukar ini faktornya banyak. Faktor-faktor ini yang gagal dikelola oleh tim ekonomi yang tidak solid,” jelas Didik.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Didik bahkan menyebut sikap pemerintah di era Soeharto lebih sensitif dalam menjaga inflasi dibandingkan dengan sikap pemerintah era presiden Joko Widodo.

“Mengapa? Karena 65 dihantam oleh krisis inflasi yang maha dahsyat. Oleh karena itu, pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap inflasi. Akan jadi isu besar kalau harga telur naik. Waktu itu, bahkan pengontrolan inflasi ada di samping kanan Presiden Soeharto. Sekarang siapa yang menjaga inflasi? Tidak ada. Masing-masing bicara sendiri,” paparnya.

Saat ini, lanjut Didik, nilai tukar rupiah dalam kondisi yang sulit juga dipengaruhi tidak dijaganya sektor luar negeri. Sehingga berdampak pada kegiatan impor yang terhambat. “Sekarang nilai tukar kita berat,” tegasnya.

“Zaman Presiden Jokowi, sektor luar negeri kita termasuk sebelumnya setelah reformasi tidak selalu dijaga. Volume pengembangan ekspor karena kita punya resource yang banyak dan harga naik. Nilai tukar ini yang sebenarnya jadi permasalahan. Kalau nilai tukar 14.500, maka otomatis kita sulit mengimpor. Akan terjadi stabilitas dengan sendirinya,” jelas Didik menambahkan.

Baca Juga:  Dukung Peningkatan Ekonomi UMKM, PWRI Sumenep Bagi-Bagi Voucher Takjil kepada Masyarakat

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,143