Budaya / Seni

Muhasabah Kebangsaan: Merajut Kebudayaan Barat yang Menggiurkan Timur yang Menawan

Catatan Akhir Perjalanan Islam Nusantara ke Eropa Bersama Ki Ageng Ganjur

NUSANTARANEWS.CO – Setelah beberapa saat pulang dari eropa, saya mencoba mengendapkan pengalaman selama perjalanan di sana. Selama pengendapan itu aku teringat pada dialog kritis para tokoh bangsa terdahulu mengenai strategi kebudayaan Indonesia yang membandingkan secara dikhotomis antara kebudayaan Barat dan Timur.

Meski sudah beberapa kali ke Eropa, tetap saja ada perasaan kagum dan takjub saat melihat keteriban, kebersihan dan keadaban masyarakat Eropa. Saya membayangkan mungkin seperti inilah perasaan Datuak Maradjo Sutan Djamaludin, yang dikenal dengan sebutan Adinegoro, saat menginjakkan kaki ke tanah Eropa, negeri kaum Kolonial pada masa itu. Pengalaman inilah yang kemudian tertuang dalam buku Melawat ke Barat. Saya yakin perasaan yang sama juga dialami oleh Sutan Takdir Alisyahbana (STA), Syahrir, Ki Hajar Dewantoro, Dr Soetomo, Tan Malaka dan mereka yang belajar ke Eropa. Meski pada akhirnya mereka memiliki jalan pikiran yang berbeda dalam melihat Barat.

Saat ini, saya menduga banyak orang Indonesia yang melawat ke Barat memiliki rasa kagum atas kemajuan negara-negara Barat. Kehidupan yang tertib, jala-jalan yang bersih dan rapi. Bangunan tua yang terawat dengan baik serta suasana yang nyaman. Tak ada gangguan kaki lima di trotoar, tak ada pengamen di jalan dan di kendaraan umum, juga tak ada pedagang asongan yang memenuhi jalan.

Tidak hanya kemajuan teknologinya yang canggih yang membuat Barat menjadi menggiurkan, tetapi juga sistem sosial budaya yang manusiawi dan peduli pada lingkungan yang juga menjadikan Barat sebagai tempat yang nyaman.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Di negara Barat yang katanya individualis, materialis dan liberal ternyata justru menjalankan sistem sosial yang melindungi kemanusiaan dan alam. Melalui sistem ini setiap individu memperoleh pelayanan dan jaminan sosial yang baik. Dan hal ini dijalankan secara konsisten oleh pemerintah sehingga di negara-negara Barat hampir sulit kita menemukan warga negara yang terlunta-lunta di jalanan, orang sakit yang tak tertangani dan anak yang tidak sekolah.

Tidak hanya itu, hewan dan pepohonan juga mendapat perlindungan. Karena kerasnya sangsi para memburu binatang dan perusak lingkungan, di negara Barat kita bisa menyaksikan aneka burung langka: Jalak Uren, Gagak Hitam, Belibis, Tekukur dan berbagai jenis burung yang di Indonesia sudah langka, berterbangan di ujung dahan, halaman rumah dan berenang di sungai yang jernih.

Sebagaimana para pendahulu yang memiliki ekspresi dan cara pandang berbeda dalam melihat kebudayaan Barat, hal yang sama juga terjadi pada generasi saat ini. Pada saat itu, di satu sisi ada kelompok Syahrir, STA dan kawan-kawan yang tergiur oleh ketinggian budaya Barat dan menjadikannya acuan untuk melakukan transformasi budaya. Di sisi lain ada kelompok Ki Hajar Dewantoro, Sanusi Pane, Soetomo dkk yang tetap memandang budaya Timur sebagai kiblat kebudayaan Indonesia.

Menurut kelompok pertama, untuk mencapai kemajuan seperti Barat maka Indonesia harus meninggalkan budaya Timur yang mistis dan irasional. Sebagimana dinyatakan STA, budaya Timur itu statis makanya mudah mati, budaya Barat itu dinamis maka terus eksis. Karenanya menurut STA Indonesia harus mengganti kiblatnya ke Barat agar bisa bangkit dan mensejajarkan diri dengan Barat (Poejangga Baru, 2 Agustus 1935). Pendapat STA ini juga disampaikan saat berpolemik dengan Adinegoro. Dalam polemik dengan Adinegoro STA menyebut kebudayaan Barat itu kritis, nemiliki etos perjuangan Hidup. Sedangkan kebudayaan Timur hanya mementingkan tertib, harmonidan damai.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Pendapat STA ini ditentang oleh kelompok Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantoro, Soetomo dan Adinegoro. Dalam harian Suara Timur edisi 4 September 1935, Sanusi Pane menulis yang intinya lebih memilih budaya Timur sebagai acuan kebudayaan ke depan karena dianggap lebih baik dari Barat. Budaya Barat yang berdasar pada materialisme, intelektualisme dan individualisme telah menimbulkan ketidakadilan. Menurut Pane kebudayaan yang ideal adalah yang menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme dan indiviadualisne dengan spiritualisme, perasaan dan kolektifitas. Pikiran Sanusi Pane ini sejalan dengan Ki Hajar Dewantoro, Adinegoro, Soetomo dkk. (Achdiat K. Mihardja, 1954).

Dalam konteks kekinian, pemikiran kelompok STA ini tercermin dalam sikap sekelompok orang yang memandang pejoratif terhadap budaya Timur, menganggap budaya bangsa sendiri rendah sedangkan budaya Barat tinggi. Akibatnya, orang seperti ini merasa status sosialnya lebih hebat dan lebih tinggi jika mampu mengikuti dan meniru budaya Barat sambil mencaci budaya sendiri yang dianggap terbelakang dan usang. Mereka merasa lebih pede dengan gaya hidup Barat yang modern.

Sikap merendahkan budaya sendiri sekarang ini tidak hanya muncul di kalangan orang-orang yang larut dalam budaya Barat, tetapi juga di kalangan orang-orang yang hanyut dalam budaya Arab. Hal ini terlihat pada kaum Islamis yang menganggap budaya Arab lebih tinggi, lebih Islami sehingga mereka merasa lebih hebat dan terhormat jika sudah meniru budaya Arab. Dan orang seperti ini juga tidak segan-segan merusak dan menghancurkan berbagai bentuk tradisi dan budaya lokal Nusantara atas nama kemurnian agama.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Dalam situasi seperti ini, Islam Nusantara menjadi relevan, karena secara kultural Islam Nusantara bisa menjadi counter culture atas hegemoni budaya Barat yang rasional, individual dan materialistik sekaligus juga sikap keberagamaan yang skripturalis dan puritan. Dan tawaran seperti ini juga pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro dan dr Soetomo yang menjadikan budaya pesantren, sebagai manifestasi Islam Nusantara, sebagai alternatif Kebudayaan Indonesia ketika berdebat dengan kelompok pro kebudayaan Barat (Ahmad Baso, 2012).

Setelah melihat perilaku dan sistem sosial yang ada di Barat saya justru merasa mereka lebih Timur dan lebih Islami. Artinya berapa nilai, norma dan etika Timur dan Islam mampu mereka praktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian pemilahan katagori budaya Barat dan Timur menjadi tidak relevan.

Dalam interaksi sosial budaya yang tanpa sekat ini kreatifitas nalar dan kepekaan batin untuk mengambil nilai terbaik dari setiap kebudayaan dari manapun sumbernya menjadi kunci unggulnya kebudayaan suatu bangsa. Ini artinya kita dituntut agar tidak mudah hanyut dalam budaya Barat yang menggiurkan dan mampu menggali dan mengembangjan budaya Timur yang menawan.

Oleh: Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009

Related Posts

1 of 3