KolomPolitik

Muhasabah Kebangsaan: Memecah Belah Umat dan Perbedaan Pilihan Politik

Pamitan: Catatan Perjalanan Islam Nusantara ke Eropa bersama Ki Ageng Ganjur. (FOTO: Dok Pribadi/Istimewa)
Pamitan: Catatan Perjalanan Islam Nusantara ke Eropa bersama Ki Ageng Ganjur. (FOTO: Dok Pribadi/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Kalimat memecah belah umat ini begitu populer di kalangan masyarakat. Beberapa kelompok yang kontra sering menggunakan kalimat ini sebagai argumen retoris untuk melegitimasi tindakan dan melakukan penolakan terhadap yang lain. Apakah saat ini ummat benar-benar pecah? Atau ini sekedar slogan retorik dan politis?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas ada baiknya melihat arti kata “pecah” sebagi akar kata “perpecahan”. Dalam KBBI kata “pecah” diantaranya bermakna: (1) terbelah menjadi beberapa bagian; (2) retak atau rekah; 3) bercerai berai atau tidak kompak lagi, dan beberapa arti lagi, namun tiga makna itulah yang relevan ketika di gabungkan dengan kata umat.

Jika dilihat dalam perspektif dan bingkai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, sebenarnya penggunaan kata “memecah belah umat” untuk mendiskripsikan suatu tindakan dan pilihan politik yang berbeda sebenarnya tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta. Jika kata “memecah belah umat” tersebut ditujukan pada ummat Islam maka ini jelas tidak tepat, karena sampai detik ini umat Islam Indonedia masih bersatu dan utuh dalam bingkai NKRI. Tidak ada yang tercerai berai, mereka masih berpegang Qur’an dan Hadits. Menjadikan ulama, kyai dan habaib sebagai panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasar Pancasila.

Baca Juga:  Survei Pilgub Jatim: 84,5% Pemilih Gerindra Mantap Pilih Khofifah-Emil

Dari berbagai kenyataan ini, jelas terlihat sebenarnya tidak ada perpecahan ummat Islam Indonesia. Yang ada adalah perbedaan, mulai perbedaan pemahaman, pemikiran, madzhab sampai perpedaan pilihan politik terutama saat pilpres, pilkada maupun pileg. Selagi mereka masih mengakui NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara maka sebenarnya yang terjadi bukan perpecahan umnat tetapi perbedaan pilihan. Dengan demikian penggunaan kata “memecah belah umat” karena perbedaan pilihan politik menjadi tidak tepat.

Jargon memecah belah ummat baru menjadi tepat ketika katagori yang digunakan adalah sistem pilitik dan ideologi. Dalam konteks ini orang yang tidak mau menerima sistem dan ideologi yang ditawarkan akan dianggap orang lain atau kelompok lain yang perlu disingkirkan dan dimusuhi. Jika sudah demikian maka yang terjadi adalah perpecahan karena masing-masing pihak berada dalam sistem dan ideologi yang berbeda dengan garis demarkasi yang jelas.

Ketika ada sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan NKRI dengan mengusung sistem khalifah dan ideologi fundamentalisme Islam maka mereka akan berusaha menyatukan umat dalam gerakan mereka. Persatuan ummat Islam berarti bersatu dengan gerakan dan pemikiran politik mereka. Yang berbeda akan dianggap pengkhianat, pemecah belah umnat yang harus dilawan dan disingkirkan. Di sini perbedaan akan dianggap sebagai perpecahan. Meskipun secara formal dan ideologis seseorang memeluk Islam dan rajin menjalankan ibadah namun akan tetap dianggap thoghut jika tidak mau ikut pada pemahaman dan garis perjuangan mereka.

Baca Juga:  Cuek Hasil Survei, Cagub Luluk Yakin Tembus Suara 55 Persen di Pilgub Jatim

Misalnya dalam konteks pemilihan Presiden, kedua pasang kandidat yang sedang betlaga adalah sama-sama warga bangsa Indonesia dan sama-sama muslim, maka sebenarnya tak ada perpecahan umat Islam ketika terjadi perbedaan dalam memilih dua kandidat tersebut. Siapapun yang menang adalah bagian dari umat Islam.

Perpecahan akan muncul, katika salah satu pasangan kandidat dianggap bukan Islam atau bukan representasi dari umat Islam. Sehingga ketika ada ummat Islam yang memilih pasangan tersebut dianggap telah memecah belah umat. Bahkan keberadaan pasangan tersebut dianggap.memecah belah umat sekalipun dia seorang ulama. Sedangkan calon yang lain dianggap sebagai pemersatu ummat karena sesuai dengan kemauan mereka.

Dari sini jelas terlihat apa dan siapa yang paling suka menggunakan kata “memecah belah umat” dan ideologi apa yang ada di baliknya, yaitu ideologi fundamentalis puritan yang selalu ingin berkuasa dan memaksakan kehendak dengan segala cara. Ideologi ini tidak mengenal adanya perbedaan karena perbedaan dianggap sama dengan perpecahan. Semua umnat harus bersatu dalam kendali dan barisab mereka. Inilah yang menyebabkan kelompok ini mudah mengatasnamakan umat dan agama.

Baca Juga:  Banjir Doa dan Dukungan di Pasar Blimbing, Khofifah Ajak Pedagang Coblos Nomor 2 di Pilgub Jatim

Pandangan seperti ini tidak akan muncul di kalangan ulama dan ummat Islam Indonesia yang masih menerima NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara. Bagi kelompok ini perbedaan suara umat dalam menentukan pilihan presiden atau Pilkada tidak akan dianggap sebagai perpecahan umat. Mereka akan menganggap hanya perbedaan bukan perpecahan karena masih sama-sama menjadi warga negara dan masih sama2 Islam.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa tidak akan ada perpecahan ummat Islam Indonesia hanya karena perbedaan pilihan saat pilpres atau pileg. Selagi mereka masih menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara perbedaan sejauh apapun tidak akan menimbulkan perpecahan umat. Perpecahan ummat akan muncul ketika perbedaan pilihan dianggap sebagai pengkhianat dan penghambat terjadinya pergantian sistem dan ideologi di negeri ini.

Oleh: Zastrouw Al Ngatawi merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009

Related Posts

1 of 3,150