Dikisahkan ada seorang pelacur yang datang menghadap kyai Abdul Djalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tungagung. Sang pelacur minta doa ke Kyai Djalil agar dirinya laris. Kyai Djalil mendoakan pelacur tersebut. Selang beberapa minggu pelacur tersebut kembali sowan dan menyatakan diri mau bertaubat.
Kepada kyai Djalil pelacur tersebut bercerita, setelah didoakan dia mendapat banyak tamu bahkan dirinya hampir tidak pernah berhenti melayani tamu, sehingga tidak bisa istirahat. Si pelacur merasa tidak kuat lagi menjalani profesinya sehingga memutuskan untuk berhenti dan tobat.
Dalam kisah yang lain disebutkan mengenai kearifan kyai Chudlori, pengasuh pesantren API Tegalrejo, Magelang yang lebih mendahulukan membeli Gamelan daripada membangun masjid. Dengan keputusan ini seolah kyai Chudori memenangkan kelompok pecinta Gamelan daripada membela kepentingan Islam. Padahal semua itu dikakukan justru untuk menjaga kerukunan dan ketentraman sebagai wujud kemuliaan ajaran Islam dan tingginya akhlak kaum muslimin.
Kisah-kisah seperti ini banyak dijumpai dalam kehidupan kyai dengan berbagai versi. Inilah yang menyebabkan masyarakat selalu merasa terayomi dan terselesaikan masalahnya setelah menghadap kyai. Hati mereka terasa tenang dan jiwanya tentram setelah mendengar wejangan kyai.
Mengapa kyai bisa bersikap seperti itu? Karena kyai hidup bersama masyarakat, selalu berada di tengah masyarakat sehingga bisa mengerti, memahami dan empati terhadap berbagai problem dan kesulitan hidup masyarakat. Seorang kyai selalu dituntut mencari solusi alternatif untuk memecahkan persoalan ummat secara kongkrit. Bukan sekedar menjadi penceramah yang memberikan khotbah normatif atau menjadi hakim moral yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Laku hidup yang seperti inilah yang membuat seorang kyai memiliki sikap dan pandangan keagamaan yang arif. Kearifan ini menjadi dasar dalam mengamalkan dan mengajarkan agama dalam realitas yang sangat rumit dan kompleks. Kearifan ini pula yang membuat kyai tidak sembarangan menerapkan teks dan ayat-ayat agama yang membuat mereka mudah menjadi hakim moral terhadap masyarakat. Mereka sangat hati-hati dalam menggunakan simbol-simbol agama, tidak mudah mengobral ayat. Semua ini dilakukan demi menjaga sakralitas agama itu sendiri.
Dalam pikiran para kyai, membuat rakyat hidup rukun, damai dan bahagia jauh lebih penting daripada meceramahi rakyat tentang syariah. Karena bagi kyai, inilah cara terbaik mengajarkan dan mengamalkan ajaran agama. Artinya, agama harus hadir secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Bukan sekadar retorika di media sosial atau di mimbar-mimbar khotbah.
Meski banyak kyai yang punya keahlian ceramah, tetapi ceramah-ceramah mereka penuh dengan kesejukan yang mententramkan. Tidak bikin resah, gelisah karena berbagai caci maki yang menebatkan kebencian dan permusuhan.
Kapasitas dan moralitas kyai yang seperti ini berbeda dengan para penceramah jaman sekarang yang cenderung lebih mementingkan kemampuan orasi dan ketrampilan menarik perhatian massa meski dengan ilmu agama yang pas-pasan. Semakin terampil berorasi dan menyampaikan ajaran agama secara tekstual retorik sehingga mampu membuat ummat berdecak kagum, maka dia akan semakin populer dan banyak mendapat pengikut. Kearifan dan kesantunan seolah bukan menjadi suatu yang diperlukan bagi penceramah zaman sekarang.
Seorang penceramah tidak perlu memikirkan apakah kebenaran yang disampaikan itu bisa memacing kegaduhan atau tidak, menyebabkan keretakan sosial atau tidak. Bagi mereka, kebenaran agama (tentunya yang sesuai dengan pikiran mereka) harus disampaikan. Kalau perlu dengan caci maki dan hujatan agar audience yakin atas kebenaran yang disampaikan. Semakin bisa menghakimi orang lain dan semakin bisa bikin kegaduhan, memancing kontroversi maka akan semakin dianggap pemberani dan hebat.
Inilah yang menyebabkan seorang penceramah merasa tidak perlu bersusah payah memahami konteks sosial masyarakat. Tidak perlu mengerti perasaan dan kesulitan umat yang mengharuskan mereka bergelut dengan realitas secara intens.
Kebutaan atas realitas dan nihilnya rasa empati membuat mereka kehilangan kearifan sehingga mudah tergelincir masuk dalam dunia selibritis. Hanyut dalam gegap gempita tepukan massa. Selain itu, sikap seperti ini mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang lebih mengedepankan syahwat kekuasaan dan ambisi-ambisi yang bersifat profan dan sempit. Inilah yang membedakan sosok kyai dengan penceramah dan selibritis zaman sekarang.
Kyai mendidik dan menyampaikan ajaran agama dengan menyentuh rasa batin melalui pendidikan dan pembudayaan serta laku hidup yang nyata. Sedangkan penceramah menyampaikan ajaran agama dengan menyentuh dan membakar emosi, mengabaikan rasa. Kyai mengajarkan kebenaran dengan pendekatan kemaslahatan dalam perspektif baik-buruk. Sedangkan penceramah sering menggunakan perspektif benar salah dengan cara-cara agitatif, sehingga sering memancing konflik dan kegaduhan.
Misalnya, ketika kyai Djalil mendoakan pelacur bukan berarti beliau tidak mengerti hukumnya zina. Demikian juga ketika kyai Chudori membela kelompok Gamelan sehingga lebih mendahulukan membeli Gamelan daripada bangun masjid. Ini bukan berarti beliau menganggap membangun masjid tidak penting. Sebagai seorang ulama beliau-beliau sangat paham terhadap syariat dan hukum Islam. Tetapi sebagai kyai yang kuyup dengan kenyataan hidup mereka juga sangat memahami cara dan metode mendidik masyarakat agar bisa menerapkan syariat secara tepat dan akurat dan menjalankannya secara suka rela. Ini bisa terjadi karena sebagaimana dinyatakan Gus Mus: “Kyai itu yandzurunal ummah bi ainin rahmah” (melihat umat dengan kacamata kasih sayang). Dengan kaca mata ini kyai bisa menerima para pelacur dan para pendosa lainnya secara terbuka. Dan mereka-mereka itu merasa nyaman dan tentram ketika menghadap kyai.
Berbeda dengan kecenderungan penceramah zaman sekarang yang hanya melihat persoalan dari sisi benar-salah, sesat dan tidak sesat sesuai pemahaman mereka sendiri. Sehingga mudah marah-marah, menyesatkan dan menghakimi dengan intimidasi moral sebagaimana yang terlihat di berbagai media akhir-akhir ini. Bisa dikatakan penceramah yang seperti ini cenderung “yandzurunal ummah bi ‘ainin ghodzob” (memandang umat dengan kacamata marah/benci). Akibatnya, umat yang merasa berdosa bukannya jadi sadar tetapi malah jadi takut dan menjauh.
Karena hidupnya yang selalu berada di tengah-tengah umat maka tidak jarang kehidupan kyai luput dari perhatian dan liputan media. Tidak seperti penceramah yang setiap saat diliput media, sehingga popilaritasnnya bisa menyamai para selibritis. Bahkan lagi plesir diliput dan diunggah di medsos dilarang ceramah karena dianggap provokatif, teriak-teriak di medsos hingga memancing kegaduhan, seolah Islam terancam. Padahal banyak kyai yang hidupnya diancam dan diintimadasi mereka tetap berdakwah dengan ikhlas dan tenang. Tidak gaduh dan bikin fitah ke sana kemari.
Alangkah baiknya jika para kyai ini bisa tampil di media agar kearifan mereka bisa menjadi teladan. Dan akan lebih baik jika penceramah bisa menjalani laku hidup seperti kyai sehingga memiliki akhlak dan kearifan seperti para kyai. Jika hal ini belum bisa terwujud maka diperlukan kepekaan batin dan kejernihan hati agar tidak mudah terpukau oleh para penceramah yang sudah jadi selibriti, hanya menyampaikan kebenaran tetapi mengabaikan kemaslahatan karena penuh hujatan dan caci maki.
Semoga kita mampu membedakan mana kyai dan mana penceramah yang sudah jadi selibriti!
Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.