MESIN KECURANGAN. Alhamdullilah dengan sumber dana yang amat terbatas, para pendukung PADI (Prabowo-Sandi) bukan saja memahami situasi keuangan yang sedang dihadapi jagoannya tapi tetap berjuang dengan penuh semangat bahkan membiayai sendiri semua kegiatannya yang amat beragam. Banyak pula pendukung yang datang langsung maupun melalui pesan (ingin) membantu pak Prabowo, terlepas jumlahnya yang mungkin tidak berarti tapi nilai semangatnya yang luar biasa.
Ada yang diterima dan ada yang dikembalikan, semua dengan pertimbangan subjektif dan objektif Prabowo atau Sandi. Intinya, praktis semua relawan atau sayap sayap mesin pemenangan PADI self-financing. Semangat bergotong royong para pendukung PADI ini sangat nampak, amat menonjol.
Bahkan ketika baru saja selesai dengan aksi 212 Desember yang lalu, yang tentu saja masing-masing mengeluarkan uang yang tidak sedikit, mereka langsung menyatakan siap bila harus aksi lagi. Juga dengan biaya sendiri. Bukan biaya sponsor APBN/APBD/BUMN-BUMD ataupun dari sponsor para cacing dan kucing. Bahkan jika dihalang-halangi, diancam maupun di hambat oleh aparat ataupun pendukung Paslon 01, mereka akan tetap berangkat. Relawan pendukung Prabowo-Sandi sudah semakin militan dalam perjuangannya.
Pada umumnya para pendukung PADI ini yakin bahwa Paslon 02 Prabowo-Sandi sudah mulai memenangkan mesin (dukungan) rakyat. Semua mesin kemenangan boleh dibilang sudah ke PADI. Benar bahwa mesin partai di kedua kubu lebih sibuk menyelamatkan pemilu legislatifnya masing-masing. Tapi, mesin-mesin yang lain berjuang all out untuk memenangkan capres-cawapresnya.
Mesin emak-emak, jelas dikuasai PADI. Mereka amat ‘tergila-gila’ pada Sandi. Begitu pula mesin milenial. Dunia usaha kecil dan menengah juga amat pro PADI.
Pada umumnya, keluarga besar TNI dan purnawirawan TNI-Polisi dukung Prabowo. Mesin buruh dan petani kebanyakan ke PADI. Kelompok nelayan dan petambak yang sejak awal kecewa dengan kebijakan Kementerian Kelautan-Perikanan antara lain soal penggunaan cantrang, ditengarai dukung ke PADI. Kelompok intelektual/terpelajar atau istilah sekarang kalangan berakal sehat, jelas ke PADI. Pegawai negeri (ASN) dan pensiunannya yang umumnya kaum terdidik, disinyalir kuat malu dengan jalannya roda pemerintahan Jokowi yang kerap amatiran, dan karena itu cenderung ke PADI.
Umat Islam kebanyakan berkiblat kepada petunjuk habaib, ustadz dan kiai garis lurus yang umumnya pro PADI. Jaringan utama mereka adalah masjid dan majelis taklim. Mesin ulama ini amat efektif dalam mengawal Paslon 02.
Hampir dapat dipastikan semua acara yang dihadiri Prabowo atau Sandi murah meriah tapi pengunjungnya melimpah, termasuk yang terakhir ini Jalan Sehat Bersama PADI di Jakarta Sabtu 2 Februari 2019. Berbeda dengan yang lain yang sering sepi pengunjung, meskipun mesin dan bensinnya konon berbiaya mahal.
Para pedagang kecil di pasar rata-rata mengeluh sepi. Harga harga mahal. Para penjual jasa termasuk sopir taksi dan abang becak juga mengeluh sepi. Pencari kerja mengeluh susah dapat kerjaan meski kerja apa saja oke, pokoknya dapat pekerjaan. Mereka yang penganggur ini menjadi mesin pemenangan PADI karena berharap akan ada perubahan nasib.
Walhasil, semakin didalami ‘anatomi’ pemilih, termasuk mereka yang masih tercatat belum memutuskan pilihannya adalah pemilih yang logikanya sudah tidak menginginkan lagi petahana (Jokowi), tetapi sementara bersembunyi dulu sebagai undecided voters. Casual observation kami juga mengindikasikan warga kampus umumnya mendukung Paslon 02. Begitu pula TKI di luar negeri yang lantang dan lepas meneriakkan dukungan ke 02.
Polling-polling bebas yang diadakan oleh berbagai kalangan termasuk ILC dan Iwan Fals, selalu dimenangkan oleh kubu PADI. Dunia medsos jelas pendukung PADI. Sementara lembaga survei profesional sudah kehilangan kredibilitas karena acap dinilai tidak independen.
Demikian pula sosialisasi Paslon di lapangan terbuka maupun tertutup yang dirasakan asimetris. Prabowo dan Sandi hanya bisa bergerak mensosialisasi dirinya sebagai capres dan cawapres sehingga banyak sempritan yang mengawasi. Menyadari banyaknya hambatan atau kesulitan yang dihadapi Prabowo ketika turun, para pendukungnya justru semakin bersimpati dengan mendatangi Prabowo di markasnya.
Sementara Jokowi bisa berbaju Presiden yang sedang berdinas dan atau capres yang sedang sosialisasi, sehingga praktis tanpa kendala, tanpa sempritan, tapi sepi pengunjung.
Tapi bukankah Jokowi telah membangun infrastruktur yang kini jadi jualan utamanya? Rakyat yang cerdas tahu bahwa infrastruktur itu utamanya di kota-kota besar bukan di kota kecil apalagi di pedesaan. Orang desa hanya melihatnya di TV-TV tapi tidak bisa menikmati.
Sementara orang kota juga hanya yang berduit saja yang mampu membayar harga tiket jalan tol, tiket kereta api bawah tanah (MRT), kereta layang (LRT) dan lain-lain. Semuanya amat mahal dan tidak lebih dari bisnis. Lagi pula, wong cilik memang sulit untuk menikmati jalan tol sebab sepeda motor dan pejalan kaki tidak boleh lewat jalan tol.
Jalan tol hanya untuk yang punya kendaraan roda empat dan kuat bayar tiket tol. Jujur saja, yang seperti ini bukanlah infrastruktur yang sebenarnya, sekali lagi ini adalah bisnisnya orang berduit. Yang benar-benar infrastruktur adalah bila bisa dinikmati semua rakyat secara gratis.
Jadi, tidak semua infrastruktur Jokowi pantas dibanggakan, apalagi dibangun dengan uang dari utang negara yang berarti utang rakyat. Lebih memprihatinkan lagi adalah kecenderungan kendaraan umum kembali ke jalan lama Pantura karena jalan tolnya mahal banget.
Logikanya, infrastruktur Jokowi yang asal asalan ini berpotensi membangkrutkan BUMN dan merongrong APBN/APBD berkepanjangan. Kesimpulannya, jualan infrastruktur Jokowi tidak akan mampu mengalahkan mesin-mesin kemenangan PADI.
Karena itu dapat dimaklumi bila kita melihat kubu petahana akhir akhir ini seperti paranoid, mudah panik dan sering bikin blunder. Banyak petingginya merasa sebagai pemilik negeri, sebagai majikan, bukan lagi sebagai pamong. Bahkan Jokowi sendiri rajin melakukan serangan dan anak buahnya rajin ‘berburu’ tokoh tokoh oposisi, terakhir Rocky Gerung dan KH Slamet Maarif. Mesin kekuasaan terasa arogan dan menggigit tajam ke kubu 02 tapi tumpul ke kubu 01.
Pemilu sebagai wahana berdemokrasi sedang berubah menjadi wahana unjuk kekuasaan secara represif. Pilpres tidak lagi cantik dan fair. Semua bermotipkan ingin menang, takut kalah, sehingga menghalalkan segala cara.
Maklum karena spektrum penolakan terhadap Petahana relatif kuat dan luas sekali. Dari kekhawatiran kebangkitan (kembali) de-facto PKI, yang meragukan kejujuran latar belakang orang tua Jokowi, masuknya TKA China, kriminalisasi ulama, pengekangan Islam, meroketnya utang negara, impor pangan yang terus meningkat, mahalnya harga pangan dan biaya pendidikan, penguasaan asing terhadap perekonomian Indonesia, narkoba yang meluas, sampai kekosongan blangko e-KTP dan epaspor. Banyak juga yang kecewa karena ternyata korupsi masih merajalela, kegagalan Jokowi memenuhi janji janjinya untuk stop utang, stop impor beras (swasembada), menciptakan 10 juta lapangan kerja baru, mobil nasional Esemka, Rp 10 ribu per dolar, dan puluhan janji-janji lainnya yang semuanya tidak terwujud.
Di lain pihak, kubu 02 PADI meskipun menguasai hampir semua mesin kemenangan sehingga diliputi keyakinan akan kemenangan, tetapi ketakutan dengan satu mesin yang namanya mesin kekuasaan karena mesin kekuasaan mampu menciptakan mesin kecurangan. Karena itu, kubu Paslon 02 jangan hanya bisa ketakutan tapi ajaklah rakyat untuk mengawal Pemilu seketat-ketatnya untuk melumpuhkan mesin kecurangan, baik yang masih potensi maupun yang nyata, demi pemilu yang jurdil.
Oleh: Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan Indonesia