Oleh: Agung Kresna Bayu
NUSANTARANEWS.CO – Gelora harmoni, damai, dan persatuan adalah nilai yang selalu dijunjung untuk melihat Indonesia berarti di mata dunia. Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya terejahwantah dalam arus utama cita-cita negeri ini. Menyoal politik secara spesifik, artikulasi mengolah kekuasaan bukan dominasi merupakan upaya dan inisiatif aktivasi demokrasi di negeri ini. Indonesia adalah kawacandradimuka keberagaman, baik identitas, kelas, maupun pemikiran.
Selama ini, arus utama kajian global merujuk pada upaya mengakui perbedaan dengan dalil multikulturalisme. Menyorot multikulturalisme secara spesifik, sebagai konsep yang lahir dari barat maka nilai batinnya adalah konteks barat tersebut. Oleh karenanya, menumbuhkan kepercayaan diri sebagai akademisi Indonesia menjadi dasar awal untuk membaca konsep, teori, dan paradigma ilmu barat, bukan menerapkannya secara mutlak di Indonesia melainkan memahmai logika serta mengambil nilainya untuk dinegosiasikan dengan konteks yang ada.
Perbedaan adalah keniscayaan di Indonesia, termasuk konflik yang menjadi bagian dari kehidupan. Saat ini bukan waktunya untuk berimajinasi soal ke-Indonesia-an melainkan bertindak untuk merajut Indonesia. Memang terkesan sulit, terlebih saat dibesarkan dalam satu identitas yang eksklusif dan memproduksi pandangan bahwa identitas yang berbeda adalah lawan.
Sebagaimana ditegaskan dalam kajian-kajian soal keberagamaan di Indonesia, yang lebih sering menyorot soal konflik, pertumpahan darah, dan kekerasan ketimbang persaudaraan, kemanusiaan, dan penghargaan dalam perbedaan. Oleh karenanya, bukan saatnya untuk alergi atau menolak terhadap konflik melainkan bagaimana mengolahnya agar tidak sekadar menjadi transisi tetapi transformasi bersama.
Saat terdapat pertanyaan apa itu Indonesia? berbagai pihak dari latar belakang multi variatif dan ke-ilmu-an memberikan pendapatnya masing-masing. Hal tersebut dilandasi oleh basis keilmuan dan pengalamannya selama ini. Seorang ilmuan sosial akan memakani Indonesia sebagai arena untuk berkontribusi pada terbentuknya partisipasi masyarakat dan upaya pengentasan kemiskinan. Pada sisi lain, seorang ilmuan biologi akan berusaha memaknai Indonesia sebagai wahana biodiversitas dan menjaga ekosistemnya sebagai negeri zamrud khatulistiwa, sedangkan seorang fisikawan akan berpendapat bagaimana memanfaatkan sumber daya energi sebagai bagian untuk menggapai kemerdekaan serta kedaulatan energi dan seorang ahli pertanian akan berupaya menjaga ketahanan serta kedaulatan pangan nasional.
Namun, bagaimana menjadikan Indonesia bukan dimaknai secara partikular-terpisah tetapi melampaui batas-batas ilmu tersebut, sehingga dapat saling berkolaborasi dalam upaya pencapaian cita-cita bangsa sesuai dengan amanah undang-undang dasar?
Selanjutnya, tilikan berbasis identitas memberikan multi variasi lain pemaknaan atas Indonesia, baik agama, suku, ras, etnik, maupun antar golongan. Hal ini memberikan pemahaman bahwa setiap individu maupun kelompok dapat memberikan makna terhadap negerinya, pemaknaan tersebut juga tidak terbatas teritorial sebagai bagian warga negara Indonesia, sebab warga dunia pun dapat memberikan penilaian lain atas Indonesia.
Namun, pernahkah kita menyadari bahwa pemaknaan tersebut terkadang membuat prahara serta tumpang-tindih padahal sama-sama bertujuan ke arah kebaikan bersama. Oleh karenanya sepantasnya kita menyadari bahwa identitas baik bersifat latar belakang ke-ilmu-an, agama, suku, ras, dan antar golongan memiliki sifat yang partikular, sehingga untuk dapat menyatukan pandangan soal Indonesia diperlukan sebuah rantai yang dapat menjahit, merajut, dan menyambungkan partikularitas tersebut.
Dengan demikian, bagaimana memahami bahwa identitas itu memiliki kerentanan dan melampauinya serta bertransformasi menjadi kerja kolaboratif untuk berkarya dan berkontribusi bagi bangsa. Salah satu hal yang dapat menjadi pijakan dan rantai penyambung tersebut adalah Indonesia itu sendiri, sehingga multi variasi pemakaan atasnya dapat terjembatani melalui upaya membangun negeri ke arah yang lebih baik.
Namun persoalan politik seringkali mengalami simplifikasi sebatas kekuasaan, sehingga saat berbicara politik sebagian enggan bersuara karena menyangkut kepentingan kelompok tertentu dan berusaha mengunci kekuasaannya atas jargon “rakyat” dan “wong cilik”. Pada titik inilah, hakikat politik tidak mendapati arti sesungguhnya dan terbatas pada masalah transaksional pemilu atau upaya memengaruhi orang lain untuk tunduk pada kepentingannya.
Padahal politik memiliki arti sebagai upaya untuk mengolah hubungan, sehingga menjadikan Indonesia sebagai arena politik untuk mengolah hubungan berbagai individu dan kelompok adalah hakikat sesungguhnya. Pada realita kesehariaan, kita telah menjalankan politik secara tidak sadar yaitu saat berjumpa dan berkomunikasi dengan pihak lain, disitulah sejatihnya terdapat dimensi politik.
Oleh karenanya kesadaran atas terbatasnya diri adalah refleksi bahwa diri kita tidak pernah utuh dan selalu berusaha mengisi kekosonganya dengan berinteraksi dengan pihak lain. Akan tetapi, bagaimana memaknai setiap hubungan tersebut sebagai bagian untuk saling memahami, mengerti, dan mencari nilai perjuangan bersama bukan upaya mempertontonkan keutuhan diri serta menjadikan pihak lain sebagai objek untuk mendapatkan rekognisi.
Oleh karenanya, sadarlah dan lampaui diri terlebih dahulu untuk memahami posisinya sebagai makhluk sosial, warga negara, dan warga dunia. Kesadaran ini akan menjadi bahan refleksi soal terbatasnya identitas yang selama ini menjadi basis rekognisi dan kenikmatan. Saat sudah menyadari hal tersebut dan tidak terdapat upaya dominasi untuk menjadi “penyelamat negeri”, barulah kita dapat melakukan kerja kolaboratif lintas sektor, lintas generasi, dan lintas identitas, bahkan sampai pada spirit transdisiplin ilmu pengetahuan. Dengan menjadikan Indonesia bukan sebatas nama negara atau teritorial administrasi melainkan arena yang tidak akan pernah berhenti untuk kita maknai bersama.