Politik

Mengapa PDIP Berlindung di Balik Politik Playing Victim?

Pencopotan Poster Jokowi oleh PDIP (Foto Rinto Heksantoro/Detikcom)
Pencopotan Poster Raja Jokowi oleh PDIP. (Foto: Rinto Heksantoro/Detikcom)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Usia demokrasi Indonesia mestinya sudah memasuki usia mature (dewasa). Dimana gagasan seharusnya yang menjadi corong mendulang suara. Faktanya berbeda, justru pola politik playing victim masih digunakan sebagai alat meraih simpati.

Sebagai contoh dalam kasus tersebarnya poster ‘Raja Jokowi’ di sejumlah daerah Jawa Tengah, yang dinarasikan PDIP sebagai upaya oposisi menjatuhkan petahana menjadi bukti sahih bagaimana politik playing victim mencoba dibangun.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto meradang dan menuding poster ‘Raja Jokowi’ merupakan black campaign untuk merusak nama Jokowi. “Atribut itu seolah mendukung kami, padahal bersifat black campaign,” ungkap Hasto, Selasa (13/11/2018) dikutip dari keterangan tertulisnya.

Sayang, narasi itu layu sebelum berkembang, setelah diketahui pelaku penyebar poster ‘Raja Jokowi’ adalah tim internal pendukung petahana sendiri.

Pertanyaannya, mengapa partai sekelas PDIP masih menggunakan strategi politik ‘playing victim’ dalam konteks Pilpres 2019? Bukankah berlindung di balik playing victim justru hanya akan mengkerdilkan kebesaran PDIP sebagai partai penguasa?

Baca Juga:  Juara Pileg 2024, PKB Bidik 60 Persen Menang Pilkada Serentak di Jawa Timur

Baca Juga:
Poster ‘Raja Jokowi’ dan Terbongkarnya Skenario Politik Playing Victim
Narasi ‘Playing Victim’ PDIP di Balik Poster Raja Jokowi

Pengamat politik nasional, Ujang Komarudin saat dihubungi kantor berita online nasional NUSANTARANEWS.CO menjelaskan alasan mengapa politik playing victim langgeng di negeri ini? Ia menjawab karena berdasarkan tipologi sosial, masyarakat Indonesia adalah tipikal masyarakat yang memiliki tingkat rasa empati tinggi terhadap orang yang teraniaya.

“Indonesia kan terkenal dengan pemaaf, baik hati, dan selalu simpati kepada orang yang didholimi begitu,” kata Ujang, Minggu (18/11/2018).

Nah, playing victim dalam politik Indonesia sendiri, kata dia, dari pilpres ke pilpres selalu terjadi. Dirinya memberikan contoh dulu saat pilpres 2004, petinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sukses menerapkan politik playing victim.

“Misal zamanya pak SBY tahun 2004 lalu. Bagaimana Pak SBY bertanding melawan Bu Mega sebagai incumbent. Beliau (SBY) memperlakukan diri sebagai playing victim. Dan ternyata berhasil,” sambungnya.

Baca Juga:  Berikut Nama Caleg Diprediksi Lolos DPRD Sumenep, PDIP dan PKB Unggul

Ujang menceritakan, ketika itu playing victim yang dimainkan adalah SBY didholimi Taufiq Kiemas (suami Megawati). Dimana SBY diminta untuk tidak kekanak-kanakan oleh Taufiq Kiemas.

“Nah ini sebenarnya buat (mendulang) simpati masyarakat kecil. Masyarakat ujung ujungnya kan akan memilih begitu. Ini terjadi pula pada Pilpres masa kini,” terangnya.

Dalam tatanan demokrasi yang mapan, gagasan merupakan modal paling penting bagi partai partai politik untuk mendongkrak elektoralnya. Dan tampaknya Indonesia saat ini masih sangat jauh dari kata mapan.

Pewarta: Romadhon Emka
Editor: Alya Karen

Related Posts

1 of 3,068