HankamHukumMancanegara

Mencermati Pembiaran Insiden Teroris di London, Paris dan Belgia

Mencermati Pembiaran Insiden Teroris di London
Mencermati pembiaran insiden teroris di London/foto: business insider

NUSANTARANEWS.CO – Mencermati pembiaran insiden teroris. Sudesh Amman, pada hari Minggu menikam dua orang di London selatan sebelum ditembak mati oleh polisi. Apakah seorang teroris? Pria berumur 20 tahun ini sebelumnya sempat menjalani hukuman berdasarkan undang-undang terorisme. Ketika ditembak mati, Amman didapati mengenakan rompi bom bunuh diri palsu.

Hal yang cukup mengganggu adalah Amman baru dibebaskan dari penjara sekitar satu minggu sebelumnya setelah menjalani setengah dari hukuman selama tiga tahun empat bulan.

Pelanggaran terorisme yang dilakukan Amman pada tahun 2018 sebetulnya tidak berhubungan dengan aksi terorisme yang sesungguhnya. Amman hanya menyebarkan propaganda jihad di media sosial, mengirim video pemenggalan kepala kepada pacarnya, dan mengunduh dokumen yang berisi informasi tentang cara membuat bom. Dan dia menyatakan ingin mati dalam operasi kesyahidan.

Insiden “Amman” di London sebetulnya dapat dicegah dengan mudah sehingga sulit untuk membayangkannya sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Karena dapat diprediksi bahwa teroris yang dikenal ini sekali lagi bisa mengancam publik. Ini menjadi contoh terbaru dalam serangkaian serangan teror yang dilakukan oleh tersangka yang sama yang diketahui oleh polisi dan organisasi intelijen, tetapi justru dibiarkan mengancam masyarakat.

Baca Juga:  NATO Terbelah oleh Putusan ICC Tangkap Netanyahu

Serangan-serangan teror besar di Prancis dan Belgia juga dilakukan oleh para tersangka yang sepenuhnya diketahui oleh polisi setempat dan organisasi-organisasi intelijen regional.

Menariknya, para tersangka juga diketahui oleh pihak berwenang Barat bahwa mereka juga berafiliasi dengan organisasi teroris yang disponsori Barat: Al Qaeda dan ISIS – sebagai proksi dalam perang penggulingan pemerintahan sah suatu negara yang direkayasa oleh Barat seperti; di Libya, Suriah, Irak, Yaman, Iran, dan seterusnya.

Hanya masalah waktu sebelum politisi mulai  mengeksploitasi insiden tersebut untuk membuat kebijakan guna lebih memahami mengapa tindakan kekerasan yang sepenuhnya dapat dicegah ini dibiarkan terungkap.

Seperti yang terlihat di hampir setiap serangan teror dalam beberapa tahun terakhir baik di Eropa maupun Amerika Utara, termasuk insiden profil tinggi seperti “penembakan Charlie Hebdo” dan serangan Garland, Texas, yang mana para tersangkanya semua diketahui berada dalam pengawasan agen keamanan selama bertahun-tahun. Beberapa pernah dipenjara satu kali atau lebih karena terror, atau pelanggaran kekerasan lainnya. Beberapa bahkan telah melakukan perjalanan ke luar negeri untuk berperang bersama teroris yang didukung Barat di Libya, Suriah, Irak, Yaman, dan seterusnya.

Baca Juga:  Perlu Perda Perlindungan, Inilah Cara Tekan Kriminalisasi Guru di Jawa Timur

The Guardian dalam sebuah artikel berjudul, “France passes new surveillance law in wake of Charlie Hebdo attack” mengakui bahwa pemerintah Prancis sendiri memiliki lebih dari 1.400 orang yang diawasi, termasuk ratusan teroris yang baru saja kembali dari pertempuran bersama teroris yang didukung Barat di Suriah, Irak, dan Yaman.

Slate Magazine dalam artikelnya, “The Details of Paris Suspect Cherif Kouachi’s 2008 Terrorism Conviction,” menulis bahwa, Kouachi ditangkap pada Januari 2005, dituduh berencana bergabung dengan jihadis di Irak. Dia dikatakan telah terpengaruh oleh Farid Benyettou, seorang pengkhotbah muda yang menganjurkan kekerasan, tetapi belum benar-benar pergi ke Irak atau melakukan tindakan teror apa pun. ‘Pengacaranya pada saat itu menyampaikan bahwa dia belum menerima pelatihan senjata dan sudah berpikir dua kali sebelum melangkah lebih jauh.’

Selanjutnya, Kourachi dan saudara lelakinya akan dilaporkan telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk menerima pelatihan dari Al Qaeda, kemudian bertempur di Suriah dalam perang yang didukung sebagian oleh Perancis, sebelum kembali ke rumah dan melakukan serangan teror yang mengerikan, semua saat sedang dilacak oleh intelijen Perancis.

Baca Juga:  Media Barat Mengakui Kegagalan Ukraina di Kursk

Jika Kouachi sebelumnya dapat ditangkap karena “bergaul dengan pelaku kejahatan dengan maksud melakukan tindakan teroris,” mengapa ia tidak segera ditangkap sekembalinya ke Prancis karena karena telah mengikuti pelatihan militer di rganisasi teroris?

Masalahnya adalah apa yang tampaknya sebagai upaya yang disengaja untuk membuat para teroris ini berkeliaran bebas di tengah masyarakat. Bebas untuk bergabung dengan pasukan tentara bayaran yang didukung Barat di luar negeri untuk berperang dalam berbagai perang proksi Barat, dan bebas untuk melakukan tindakan teror keji di dalam negeri, keduanya melayani agenda tunggal memperluas hegemoni Barat di luar negeri sambil mempertahankan kepentingan di dalam negeri dengan penggunaan elemen ketakutan sebagai senjata politik.

Dalam kedua kasus tersebut, serangan seperti yang terjadi di Prancis dan Belgia atau peristiwa yang lebih baru di Inggris ini dieksploitasi – digunakan untuk melumpuhkan publik dengan rasa takut dan memaksa mereka untuk menerima pembatasan pada kebebasan bedemokrasi. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,062