NUSANTARANEWS.CO, Istanbul – Turki akhirnya menentukan pilihan. Melalui referendum, sebanyak 51,5 persen suara menyatakan “Ya” dan sebesar 48,5 persen rakyat Turki memilih “Tidak”. Kedua pilihan itu jawaban apakah rakyat memilih akan beralih dari sistem parlemen (parliamentary system) ke sistem presidensiil (executive presidency with more powers) dalam pemerintahan. Hasilnya, mayoritas rakyat Turki memilih beralih ke sistem presidensiil, sistem yang memang dikehendaki Recep Tayyib Erdogan setelah aksi kudeta pada Juli 2016 lalu gagal. Erdogan sangat berkepentingan untuk memperkuat kekuasaannya.
Artinya, atas hasil ini Erdogan berpotensi memimpin Turki hingga 2029 mendatang. Sementara dalam draft konstitusi disebutkan pemilihan presiden dan parlemen selanjutnya akan digelar pada 3 November 2019. residen yang dipilih dalam pemilihan itu menjabat selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan.
Erdogan mengatakan, kemenangan dalam referendum telah memberikannya kekuatan terbesar dari politik Turki modern. Katanya, ada 25 juta orang telah mendukung usulan untuk menggantikan sistem parlementer Turki dengan sistem presidensiil serta menghapus jabatan perdana menteri.
“Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, kita mengubah sistem pemerintahan kita melalui politik sipil. Itulah mengapa (referendum) sangat signifikan,” ujar Erdogan.
Erdogan bakal berwenang menunjuk menteri-menteri, mengeluarkan dekrit, mengangkat hakim senior, dan membubarkan parlemen. Adapun posisi perdana menteri ditiadakan sehingga presiden mengontrol penuh birokrasi negara. Dengan sistem baru, Erdogan berkepentingan untuk menyelesaikan pemberontakan Kurdi, militan Islam dan konflik di Suriah yang telah melahirkan pengungsi besar-besaran. “Suara rakyat adalah tentang sistem pemerintahan yang baru di Turki, pilihan tentang perubahan dan transisi,” kata Erdogan kepada BBC.
Siapakah Erdogan?
Erdogan mengawali karir politiknya dimulai ketika dirinya bergabung dengan sebuah partai Islam, Milli Selamet Partisi. Akibat kudeta pada medio 1980, partai tersebut menjadi salah satu yang dibubarkan.
Setelah stabilitas politik Turki pulih, Erdogan tampil ke panggung politik. Pada 1991, Erdogan terpilih menjadi Anggota Parlemen sebelum akhirnya dicabut oleh Komisi Pemilihan Pusat Turki.
Nama Erdogan mulai populer ketika dirinya berhasil terpilih menjadi wali kota Istanbul Raya dan Presiden dari Dewan Metropolitan Istanbul Raya. Partainya, yakni Partai Kesejahteraan tampil sebagai partai terbesar di Turki sejak saat itu.
Erdogan mencatatkan citra bagus karena dinilai berhasil merancang tata kelola kota Istanbul. Membuat kota tersebut nyaman dan modern. Catatan lain di Istanbul, Erdogan dinilai berhasil memerangi masalah umum di ibu kota seperti mengurangi pengangguran, memberikan air bersih, pengurangan kadar polusi kota, memerangi prostitusi, serta pelarangan minuman keras di tempat umum. Usaha-usaha Erdogan tersebut membuatnya semakin populer di mata masyarakat.
Popularitas Erdogan dimanfaatkannya dengan baik. Pada 2001, ia mendirikan partai AKP (Adalet ve Kalkinma). Partai ini dikenal dengan sebutan Partai Keadilan Pembangunan, dan berhaluan Islam. AKP melesat di panggung politik Turki. Buktinya, pada Pemilu 3 November 2002, AKP mengirimkan wakil ketuanya Abdullah Gul menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Ahmet Necdet Sezer. Karena Gul berkasus, Erdogan kemudian ditunjuk menggantikannya sebagai Perdana Menteri Turki.
Kisah Erdogan berlanjut pada 2014. Tepat pada 10 Agustus, Turki mengadakan pemilihan presiden secara langsung. Ekmeleddin Ihsanoglu (Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam) dan Selahattin Demirtas (politisi etnis Kurdi di Turki) merupakan dua kandidat terberat yang harus dihadapi Erdogan dalam Pilpres 2014.
Namun, sejarah memihak kepada Erdogan. Sebab, hasil Pilpres Turki 2014 memenangkan dirinya dengan total 52 suara menungguli dua pesaingnya, yakni Ihsanoglu dan Demirtas. Dan tepat pada 28 Agustus, Erdogan resmi dilantik menjadi Presiden Turki ke-12.
Penulis: Eriec Dieda