NUSANTARANEWS.CO – Semenjak negara hukum (rechtsstaat) Indonesia mendirikan institusi penegakkan hukum, Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), polemik hukum tak menyisakan solusi yang efektif dan efisien sehingga korupsi menuai perdebatan para akademisi menyoal masa depan lembaga-lembaga yang terkait. Pasalnya, pemimpin kini mengalami antiklimaks baik dari segi etika, moral, kejujuran, transparansi dan akuntabilitas-nya pun kian terliminasi.
Selama ini upaya untuk memutus jejak pemimpin korupsi belum pernah dijadikan mosi seminar baik di internal kampus, maupun di berbagai lembaga-lembaga negara. Di tengah masifnya perilaku pemimpin koruptif kian hari makin tersaji dimana-mana, termasuk di pelbagai institusi negara, kekuasaan politik, ekonomi, hukum, dan juga birokrasi. Seharusnya ini menjadi kajian signifikan bagi sejumlah lembaga penegakan hukum, khususnya oknum-oknum kekuasaan tersebut yang melekat pada perbuatan skandal. Wabil khusus, sejak terseretnya sebagian pejabat negara, dan penyelenggara keadilan yang dijadikan tersangka oleh Komisi Penberantasan Korupsi (KPK).
Mendekati pesta demokrasi, kadang kala tidak hanya keimanan saja yang mudah terjerembat dalam pusaran politik. Tetapi sebaliknya, kekuatan politik menjadi konsekuensi besar dengan mudahnya merobohkan moral para penguasa dihanyut jauh. Oleh karenanya, tidak bisa bertahan oleh energi duniawi yang kerapkali membuat manusia jadi korban jeruji besi hanya karena kepentingan sesaat. Di tambah lagi, kejujuran yang kini gampang diporak-porandakan oleh segala macam perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh Islam, agama, dan bahkan keabsahan aturan hukum pun jelas mengatur mengenai konteks ini.
Indonesia akan menjelang pelaksanaan pilkada serentak, potensi kejujuran harus menjadi dimensi nomor satu oleh masing-masing calon. Pasalnya, selain kejujuran adalah nilai politik Islam yang tergambarkan sebagaimana politikus agama dan negara, Nabi Muhammad saw. Rekam jejak kepemimpinanya memiliki model integritas positif serta komunikasi politik yang relatif tinggi, dan juga menunjukkan sikap keterampilannnya sebagai indikasi pemimpin revolusionis dunia. Sebab dengan hal itu, integritas kepemimpinannya tak cenderung mendatangkan malapetaka.
Secara psikologis, seleksi kepemimpinan tak cukup dengan materi atau jumlah dukungan surat suara dan gerakan partai politik. Seharusnya, diukur dengan kualifikasi dan predikat prestasi pengalaman dalam hal kepemimpinan dan pengabdian terhadap masyarakat. Dengan demikian, apakah semenjak menduduki jabatan pejabat negara atau kepala daerah pernah tersentuh kasus skandal atau pernah menjadi pasien lembaga penegakan hukum: Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, Kejaksaan. Ketiga, Kepolisian. Tentunya, apabila pernah berhadapan dengan rumah sakit ini maka otomatis masyarakat perlu mengkoreksi apa benar atau tidak?
Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, mengemukakan dalam (Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum: 2009) “apabila diamati secara seksama substansi Pasal 1 butir 1 huruf (a) UU 3/1971, kedua makna tersebut sebenarnya merupakan bagian dari pengertian korupsi secara ekstensif, mengingat siapa pun (penyelenggara negara atau pihak lain) yang melakukan perbuatan kolusi dan nepotisme tercakup dalam makna perbuatan tercela sebagai ungkapan dari materiele wederrechtelinkkheid (perbuatan melawan hukum materiil).”
Membaca keterangan pakar hukum di atas, mendiskripsikan rekam jejak kepemimpinan dalam beberapa aspek: Pertama, pemimpin yang mudah terjebak hukum karena moral, etika, integritas, keimanan, dan kejujuran semakin terlupakan. Kedua, faktor perbuatan melawan hukum senada dengan sebagian para ahli hukum berpendapat. Menyikapi dua aspek ini, memerlukan re-evaluasi budaya kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum. Dalam artian, tingkat jiwa kemaluan para penguasa harus dibudayakan agar mampu menjadi empati bagi masyarakat serta mempersempit ruang gerak koruptor agar tak mudah leluasa.
Menurut hemat penulis, Indonesia dalam basic linguistic diistilahkan negara hukum (rule of law) karena tercatat dalam Pasal 1 ayat (3) yang diatur dalam UU konstitusi negara Indonesia. Dalam konteks ini, negara Indonesia masif menghadapi tantangan-tantangan yang relatif tajam dengan persoalan-persoalan hukum yang kian meris. Maka demikian, harus ada pembinaan internal kaderisasi kepemimpinan secara khusus untuk membenahi perilaku dan karakteristiknya.
Dan bisa meliputi dua mekanisme kepemimpinan. Pertama, tekanan eksistensi pembinaan moral manusia serta kepemimpinan agar tidak mudah terjerumus dalam ranah hukum. Terutama dengan tegas mempersempit praktek-praktek KKN di negara Indonesia ini. Kedua, membudayakan kejujuran pemimpin dengan cara sosialisasi selintas agama serta atas dasar dukungan partai politik. Karena itu, dengan adanya evaluasi penyebar luasan budaya kejujuran pemimpin. Maka seluruh pemimpin atau pejabat negara yang ada dari setiap agama perlu mematuhi hukum. Substansialnya, mau mempersempit ruang dan pintu koruptor dalam memalingkan uang rakyat dan uang negara.
Sebelum pelaksanaan pesta demokrasi dimulai secara serentak, lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi harus menjalin kerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan seluruh elemen pengawas demi menghindari perbuatan skandal seperti praktek suap yang bagian dari tindak pidana gratifikasi. Terutama di era pilkada seringkali terjadi suap baik oknum KPU maupun Bawaslu. Semoga dengan adanya analisis ini sosialisasi anti-korupsi terus-menerus disosialisasikan ke pelbagai perguruan tinggi, universitas, dan lapisan masyarakat.
*Hasin Abdullah, penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Forum Akademisi Hukum Muda Indonesia (DPP-FAHMI).