oleh Abdul Wachid B.S.[1]
Di hampir semua provinsi di Indonesia memiliki Universitas Muhammadiyah. Di semua Universitas Muhammadiyah itu memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Di semua FKIP Universitas Muhammadiyah itu memiliki Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari itu, bisa dipastikan setiap kelulusan studinya melahirkan Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Bahasa dan Sastra Indonesia, yang diharapkan mampu dan mau menjadi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, yang mengajar dari tingkat Sekolah Dasar, sampai kelak jika melanjutkan studi pascasarjana bisa menjadi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia. Sementara itu, di Perguruan Tinggi selain Muhammadiyah pada umumnya, dan hampir bisa dipastikan tidak membuka Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal inilah realitasnya.
Hal ini pulalah realitasnya, matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar di tiap tahunnya, sampai lulus kelas 6. Matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia juga diberikan sedari kelas 7 sampai kelas 9 di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia juga diberikan sedari kelas 10 sampai kelas 12 di Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan, di Perguruan Tinggi pun materi matakuliah Bahasa Indonesia ada terselip materi kesusastraannya.
Dari kedua realitas itu, dapat dibaca bahwa Muhammadiyah memiliki nasionalisme Indonesia yang sangat besar, dengan terlibat langsung ke dalam proses kebudayaan Indonesia melalui Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekaligus bisa dibayangkan, Muhammadiyah bisa memberi “warna” kepada “apa”, “bagaimana”, dan “mengapa” Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal itulah aset besar yang dimiliki Muhammadiyah, dan semoga menjadi kesadaran bersama.
Dalam taksonomi kesusastraan, kritik sastra yang baik bisa mendorong lahirnya karya sastra yang lebih bermutu. Sebaliknya, karya sastra yang bermutu mampu merangsang lahirnya kritik sastra yang kritis estetis. Kritik sastra yang kritis sekaligus estetis ini membutuhkan wawasan sejarah sastra, teori dan metode sastra, yang semua ini tentu saja dibayangkan idealnya diberikan materinya di Perguruan Tinggi, tidak terkecuali di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Hal ini dibayangkan sebagai ekologi sehat dalam kesusastraan Indonesia, yang bisa saja dibaca sebagai bagian dari dinamo berkebudayaan yang sehat.
Membayangkan ekologi kesusastraan Indonesia, Muhammadiyah pun memiliki aset penting. Di samping ribuan guru hasil lulusan FKIP Universitas Muhammadiyah, aset lain yang selama ini kurang diperhitungkan adalah majalah Suara Muhammadiyah. Setahu saya, sejak redaktur sastra budayanya Mohammad Diponegoro, lalu A. Adjib Hamzah, sampai kepada Mustofa W. Hasyim, majalah ini membuka rubrik puisi, cerpen, esai sastra budaya, dan nukilan tarikh. Dalam kurun waktu begitu lama itu, bisa dihitung berapa jumlah nama sastrawan yang memuatkan karya sastranya di majalah Suara Muhammdiyah. Berapa jumlah cerpen, puisi, esai sastra budaya, dan nukilan sejarah Islam yang dimuat? Andai saja dilakukan seleksi atas puisi, cerpen, esai sastra budaya, nukilan tarikh, sedari masing-masing rubrik itu dibuka, lalu diterbitkan buku pilihan puisi, pilihan cerpen, pilihan esai, pilihan nukilan tarikh. Lalu, buku-buku itu disebarluaskan penyebarannya ke semua lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah. Bisa dipastikan betapa bahwa nuansa religiositas Islam mewarnai kesusastraan Indonesia. Dari buku-buku itu akan menumbuhkan kecintaan apresiasi terhadap karya sastra yang dimuat Suara Muhammadiyah. Dari buku-buku itu, akan menumbuhkan kritik sastra Indonesia, yang melahirkan sejarah sastra, bahkan boleh jadi mendorong tumbuhnya kritik sastra khas Indonesia. Hal itu sebab selama ini teori dan metode kritik sastra diadopsi dari teori dan metode kritik yang berobjek terhadap karya sastra Barat.
Tentu saja, apa yang saya ilustrasikan itu bukan cuma “membayangkan ekologi kesusastraan Indonesia yang sehat”. Muhammadiyah mempunyai aset besar, memiliki potensi yang sudah bisa dilihat mata, untuk menentukan peran penting dalam proses menuju ekologi kesusastraan Indonesia yang sehat, dalam proses kebudayaan Indonesia yang sehat.
Untuk mewujudkan hal itu, tinggal bagaimana, dari cuma menyadari aset dan potensinya, menjadi bergerak menghidupkan kembali kemesraan hubungan antara media-massa dan lembaga pendidikan oleh Muhammadiyah agar lebih memberi ruang apresiasi terhadap kesusastraan, terhadap kebudayaan. Dengan seperti itu, segala ekspresi kebudayaan, termasuk kesusastraan, yang berkarakter Al-Qur’an menjadi nafas dari pendidikan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Dengan sudut pandang demikian, maka sastra religius, sastra profetik, sastra sufistik, dan hal-ikhwal yang memesrakan kembali antara sastra, masyarakat, dan agama (Islam), menjadi bagian penting dalam proses pendidikan di Indonesia, melalui lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, sebagai aset bangsa. Dalam hal ini, kita “terus mencoba budaya tanding” terhadap pengaruh masuknya kebudayaan yang asing dari keindahan etika Al-Qur’an. Di situlah pemaknaan pendidikan yang rahmatan lil’alamiin kian menjelaskan wajahnya.
Untuk itulah, kawan penyair yang mereka masih kuliah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini mempersepsi dan memposisikan diri mengawalinya dari karya sastra (puisi). Semoga dari karya inilah mendorong bertumbuhannya wacana-wacana kritis dalam rangka berkebudayaan Indonesia yang bersendikan kepada nilai tauhid. Buku puisi Rumah Penyair ini lahir dari kegelisahan kreatif kawan-kawan penyair, berkenaan dengan hal-hal yang sudah diungkapkan di atas. Mereka menyadari, pada saatnya mereka adalah seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekalipun kampus FKIP dengan Program Studi Bahasa dan sastra Indonesia tentu melalui kurikulumnya tidak untuk “mencetak” mahasiswa menjadi penyair (sastrawan), melainkan menjadi guru yang dibekali keilmuan untuk mampu memberi apresiasi dan selanjutnya mengkaji karya sastra sebagai pengayaan dari Bahasa Indonesia. Akan tetapi, seorang guru yang baik, tentu saja, tidaklah cuma mampu menghapal nama-nama sastrawan dan nama-nama judul karya sastranya. Seorang Guru (Bahasa dan Sastra Indonesia) yang baik akan mampu “Membaca dan Menilai Sastra”, dan bagaimana hubungannya dengan kehidupan siswa didiknya sehingga dari situ fungsi mimetik, fungsi pragmatik, fungsi ekspresif, dan fungsi objektif dari karya sastra bisa dipetik hikmahnya oleh siswa didik melalui pemahaman dan penjelasan seorang guru. Untuk itulah, nilai plus mereka sebagai guru kelak, bahwa mereka seorang guru, namun sekaligus memiliki pengalaman langsung sebagai penulis karya sastra. Di situ ada totalitas dalam mencintai keilmuan, dan karenanya profesional.
Untuk itulah, “Bala-Kurawa” yang berjumlah 100-an penyair berkumpul di sini, memulai perjalanan kehidupan (sastra Indonesia) dari kampus UAD sebagai “Rumah Penyair”.
Kontribusi terhadap Kesusastraan Indonesia
Dalam catatan sejarah, sajak memiliki peran yang sangat strategis. Bahkan, sajak dianggap sebagai rumah: rumah penyair. Hal itu terbukti dari kisah seorang penyair besar asal Palestina, Mahmud Darwish. Tersebab tidak adanya rumah, Darwish menjadikan sajak sebagai sebuah tenda yang luas bagi rakyat Palestina yang membutuhkan rumah (terimakasih Ibtisam Barakat atas ungkapan ini). Dengan puisi ia mengubah rasa pilu menjadi lagu rindu.
Begitulah gambaran betapa sajak bukan sekadar kata-kata, bahwa sajak bukan sekadar permainan metafor, namun sebaliknya, sajak adalah sebuah bangunan yang maha dahsyat. Di situlah penyair hidup. Di situlah penyair mengerti kehidupan sebab menulis sajak bukanlah sekadar menyusun kata-kata, lalu mengindah-indahkannya, melainkan melalui proses panjang penuh permenungan. Hal itu sebab kreativitas seorang penyair sesungguhnya tidak terletak pada kemampuannya dalam menciptakan nilai-nilai, tetapi lebih kepada bagaimana ia menangkap berbagai sinyal dan isyarat yang terjadi atau muncul di sekelilingnya sebagai peristiwa budaya, karenanya sajak tidak tercipta dalam kekosongan budaya (terimakasih A. Teeuw atas ungkapan ini). Di dalam sajaklah penyair mengolah pengalaman yang masih abstrak menjadi hadir lebih nyata dengan jalan pengucapan lewat bahasa yang dipilih.
Di sinilah peran strategis buku antologi puisi Rumah Penyair. Buku serupa ini bukan sekadar dokumentasi karya mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD), lebih dari itu, buku ini adalah rumah, di mana kawan-kawan “penyair muda” ini saling bertukar pengalaman yang mereka dapatkan dari kerja membaca, sebab mustahil tercipta sajak jikalau tanpa didahului dengan kerja membaca. Di rumah ini jugalah terjadi tradisi saling mengkritik dan memberi masukan tentang segala ikhwal sajak. Di rumah ini mereka —para penyair— saling menunjukkan kebolehan dalam menulis sajak, dan di rumah ini pula mereka “berpulang” setelah melakukan kembara di dunia di luar dirinya.
Benar adanya, dari antologi puisi Rumah Penyair sebelumnya, lahirlah beberapa sastrawan yang meramaikan berbagai buku antologi komunal, menjuarai perlombaan kepenulisan sastra, dan pemuatan karya di media-media. Itulah alasan mengapa Universitas Ahmad Dahlan berepot-repot mentradisikan pembuatan antologi karya mahasiswa sebab di situ ada kerja bersilaturrahmi karya, sebab di situ ada sikap saling men-support, sebab di situ saling terjadi pertukaran wacana tentang sajak dan seluk-beluknya. Diharapkan, melalui antologi-antologi seperti Rumah Penyair ini, estafet kesastrawanan dari komunitas budaya UAD dapat tersampaikan untuk selanjutnya dikembangkan agar lebih baik lagi sehingga Universitas Ahmad Dahlan memberikan kontribusi konkret terhadap kesusastraan Indonesia. ***
[1] Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Achid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan sekarang sedang studi Program Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo.
Buku-buku karya Achid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014). (14) Buku Puisi, NUN (2016).
Website: www.wachid.8m.com; E-mail: [email protected] dan [email protected]; Twitter @abdulwachidbs; Facebook: www.facebook.com/abdulwachidbs