Oleh: Agus Setiawan
Kebangkitan China dan WTO
Ilmu Ulat Sutera. Ya begitulah mungkin menggambarkan kebangkitan China di akhir abad 20. Kembalinya Deng Xioping ke panggung politik China dengan tangan dingin berhasil mengubah perjalanan sejarah China menyongsong abad 21. Dalam waktu singkat (1978-1987), China keluar dari kepompong untuk menantang dominasi AS dengan kekuatan ekonomi yang menakjubkan. Kebangkitan China yang begitu cepat ini memang mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan intelektual dan ahli ekonomi yang tidak mampu menemukan kata-kata yang pas untuk melukiskan peristiwa metamorfosis negeri komunis tulen itu.
Deng Xiaoping, sang kreator berhasil meciptakan iklim investasi yang sangat kondusif bagi para investor dengan kebijakan regulasi yang memudahkan investor asing menanamkan modalnya di China, bahkan ditambah paket insentif bagi investor yang mendirikan pabriknya.
Dengan iklim investasi yang baik, paket insentif yang menarik, dan dukungan infrastruktur yang memadai, China berhasil menyuburkan pertumbuhan ekonomi sangat fantastis; rata-rata tumbuh di atas 10% per tahun. Oleh karena itu, dengan kepercayaan diri yang tinggi, ditopang kemajuan industri dalam negeri yang stabil, China mulai bergerak melakukan ekspansi pasar.
Setelah lama menjadi penonton, China akhirnya berani mengintegrasikan ekonominya ke dalam WTO meski ditolak oleh AS pada 2001. Dan kekhawatiran AS ternyata menjadi kenyataan. China dengan menunggangi WTO berhasil membuka dan memperluas ekspansi pasarnya ke daratan Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Autralia. PDB China melesat mencapai US$ 5.700 miliar melewati Jepang yang berada pada urutan kedua. China berhasil mengurangi angka penganguran rakyatnya dari 40% hingga tinggal 5%. Baru-baru ini berdasarkan rilis Fortune, China telah menempatkan 3 perusahaan yakni China National Petroleum, Sinopec dan State Grid dalam 10 besar perusahaan raksasa dunia. Padahal masih banyak lagi perusahaan China yang jauh lebih besar dari ketiga perusahaan tersebut.
WTO tidak mampu membendung melesatnya kekuatan ekonomi China. China sudah berhasil mendobrak hegemoni AS. Bahkan perusahaan-perusahaan China semakin efisien dalam mengorganisasikan perusahaan dan layanannya sehingga semakin lama semakin kompetitif. Bahkan mampu menghasilkan out put produk yang jauh lebih murah yang tidak mungkin dilakukan oleh negara-negara kapitalis.
Dengan memanfatkan skema multilateral trade agreement hasil Putaran Uruguay, China melakukan ekspansi ke negara-negara ASEAN dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) di Laos, pada November 2004 silam. Dan setelah itu, barang-barang produksi China yang berharga murah mulai membanjiri Indonesia. Industri dalam negeri terpukul, defisit neraca perdagangan Indonesia-China semakin dalam. Akibat banjirnya produk impor asal China membuat pelaku industri dalam negeri banting setir menjadi pedagang sehingga mulai bermunculan pusat-pusat perdagangan made in China.
AS dan Eropa yang sudah kewalahan menghadapi banjirnya produk China mulai melakukan tindakan proteksi untuk melindungi industri dalam negeri dan memaksa China untuk mematuhi aturan WTO. Namun China tidak peduli, terus bergerak menjunjung “pasar bebas” sebagaimana hasil kesepakatan Putaran Uruguay. Bahkan China sempat menyindir AS yang dianggap mengingkari globalisasi dan pasar bebas karena tidak mampu berkompetisi.
Sindiran China bukan tanpa alasan, karena belakangan banyak para pengusaha China yang tengah berupaya menanamkan modalnya di AS dibuat kecewa lantaran pemerintah AS mulai memproteksi perusahaan–perusahaannya yang dianggap strategis untuk diambilalih perusahaan China. Seperti dalam kasus Hawker Beechcraft Inc. yang baru-baru ini gagal dibeli oleh China karena kekhawatiran pemerintah AS atas isu keamanan nasional. Di Oregon, langkah perusahaan China untuk mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga angin terhenti cuma karena alasan dekat dengan pangkalan militer AS. Pengambil-alihan produsen baterai, A123 Systems Inc. oleh perusahaan pembuat suku cadang kendaraan China pun batal. Pemerintah China gusar dengan tingkah pemerintah AS yang memandang investor China penuh prasangka, dan dianggap mengancam keamanan nasional AS.
Artikel Terkait: Perang Asimetris, Membaca Skema IMF di Indonesia