NUSANTARANEWS.CO -Bagaimana skema ketahanan energi nasional kita? Seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia saat ini hanya memiliki 6 kilang minyak yang beroperasi dan dikelola oleh PT Pertamina. Namun sayang, kilang-kilang minyak ini hanya mampu mengolah minyak yang harganya mahal jenis sweet crude. Sebagai informasi bahwa Light Sweet Crude Oil merupakan jenis jenis minyak mentah yang paling dicari di permukaan bumi. Minyak mentah jenis ini tersebar di Asia Tenggara dan Pasifik, seperti Indonesia, Irak, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika.
Sejak awal dibangun kilang-kilang minyak Indonesia memang di desain untuk mengolah jenis minyak sweet crude yang ada di perut bumi Indonesia. Jenis minyak sweet crude ini di pasar minyak Internasional semakin hari semakin sedikit sehingga harganya semakin mahal.
Stok minyak mentah dunia kini lebih banyak tersedia jenis sour crude. Jenis minyak ini mengandung asam sulfur tinggi antara 1-3%. Kilang minyak Indonesia belum mampu mengolah jenis sour ini. Desain kilang minyak milik Pertamina, hampir seluruhnya dibuat dengan menggunakan bahan dasar besi. Bukan alumunium seperti di Singapura. Bila kilang dipaksakan mengolah minyak sour akan sangat berbahaya, bisa berkarat. Bisa bocor, bahkan meledak
Dengan program Refinery Development Master Plan (RDMP), Pertamina mencoba menjawab kebutuhan ketahanan energi nasional yang terus meningkat. RDMP diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah dalam negeri dari 820.000 bph menjadi 1,68 juta bph pada tahun 2022 nanti. Beberapa kilang minyak yang diproyeksikan dalam program RDMP tersebut antara lain kilang RU IV Cilacap, RU VI Balongan, RU II Dumai dan RU V Balikpapan.
Disamping untuk meningkatkan kapasitas produksi, RDMP juga memiliki fleksibilitas kemampuan untuk mengolah minyak mentah dengan tingkat kandungan sulfur setara 2%. Padahal saat ini, kandungan sulfur minyak mentah yang dapat ditoleransi hanya 0,2%.
Dengan mulai berjalannya proyek RDMP ini, diharapkan produksi bahan bakar yang dihasilkan nantinya akan naik sekitar 2,5 kali lipat dari 620.000 bph saat ini menjadi 1,52 juta bph, dengan produk utamanya gasoline dan diesel. Produk-produk tersebut akan memiliki kualitas tinggi yang memenuhi standar Euro IV. Nah, tinggal bagaimana komitmen kontrak yang dibuat oleh Pertamina dengan investor, apakah merugikan atau menguntungkan negara?(as)