NusantaraNews.co, Jakarta – Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Hikmah Budhi (PB HB) Daniel Johan mengaku prihatin dengan terjadinya kembali pembantaian etnis minoritas Rohingya di kawasan Rakhinie, Myanmar beberapa hari ini. Menurutnya, konflik tersebut merupakan tradisi kekerasan warisan junta militer yang seharusnya mampu dihentikan melalui kepemimpinan demokrasi Aung San Suu Kyi.
“Namun sangat disayangkan, Aung San Suu Kyi yang merupakan seorang penerima penghargaan Nobel Perdamaian ternyata hingga saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan ini, sehingga akhirnya peristiwa kekerasan kembali terjadi,” ujar Daniel di Jakarta, Minggu (3/9/2017).
Baca: Gugur Bunga untuk Rohingya
Wakil Sekjend DPP PKB ini mengungkapkan, masa kediktatoran junta militer telah berlalu. Tetapi, dampak kebijakan politik junta yang diskriminatif selama 30 tahun lebih kekuasaannya di Myanmar masih dapat dirasakan hingga kini.
Khususnya, oleh masyarakat keturunan Bangladesh yang bermukim turun temurun di wilayah Rakhine dan mengidentifikasi diri Ztransisi menuju demokrasi di Myanmar.
Daniel menjelaskan Junta pada tahun 1982 menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyebabkan hilangnya kewarganegaraan orang-orang Rohingnya. Kemudian, lanjutnya, hanya diberi kartu identitas sementara dan akhirnya tidak diakui.
Simak: Para Pembajak Agama dan Air Mata untuk Rohingya
“Permasalahan ini memang tidak sederhana, dan benih konfliknya telah tertanam sejak sebelum kemerdekaan Myanmar, dimana ketika para pejuang kemerdekaan Myanmar bersekutu dengan Jepang melawan penjajah Inggris, orang-orang Rohingnya menempatkan diri di pihak Inggris. Hal ini adalah salah satu benih konflik,” kata wakil ketua komisi IV DPR ini.
Selain itu, lanjut Daniel, junta militer selama berkuasa cenderung menjaga konflik horizontal antar masyarakat di wilayah tersebut.
“Sehingga terus bereskalasi hingga pemerintahan beralih kepada sipil yakni Aung San Suu Kyi,” jelasnya. (Kastro)
Baca: Up-Date Berita sepurtar Rohingya
Editor: Ach. Sulaiman