Mail dan Mistik Keseharian – Cerpen Achmad Sayuti Majid

Ilustrasi/Foto: Dok. franksynowicz.tumblr.com
Ilustrasi/Foto: Dok. franksynowicz.tumblr.com

NUSANTARANEWS.CO – Mail meremas kuat-kuat buku di tangannya. Begitu kesalnya, setelah buku itu remuk dibuangnya jauh-jauh dari teras rumah mengarah ke pinggir jalan. Namun itu semua tak membuat rasa kesalnya terpuaskan. Justru menambah sakit hati. Sebab dia rela memotong uang makan untuk membelli buku itu. “Heidegger dan Mistik Keseharian,” demikian judul buku itu.

Satu bulan lamanya ia baca buku Heideger dan Mistik Keseharian. Sudah hampir tiga kali ia bolak-balik halaman demi halaman. Namun sama saja hasilnya. Tak pernah ia pahami sepenuhya. Akhirnya, rasa kesalnya memuncak hingga membuat buku itu remuk dan melayang dipinggir jalan. Sialnya, dia harus berurusan dengan seorang pejalan kaki yang sedang melintas karena terkena buku yang ia lempar.

“Seandainya aku bertemu dengan penulisnya akan kuomelin habis-habisan,” kata Mail pada temannya.

Sakit hati Mail tak tersembuhkan walau telah berhari-hari semenjak kejadian itu. Keinginanya untuk betemu dengan penulis buku itu semakin tertancap kuat dalam hatinya, bahkan dia sampai berdoa dalam sujud terakhir shalatnya agar keinginan itu bisa tersampaikan setidaknya lewat mimpi. Aksi gila itu membuat teman-temannya mengolok-olok diri Mail, namun ia tetap teguh pada pendiriannya.

Heidegger nama penulisnya. Memang Heidegger menjelaskan hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa teorinya begitu fenomenal namun teori itu ketika tertuang dalam tulisan penjelasannya begitu memutar otak membuat Mail harus mengeluarkan tenaga ekstra agar bisa memahami hal sederhana yang pelik itu.

Usaha yang Mail lakukan hampir berhasil jika saja tak ada penghalang waktu itu. Suatu siang sehabis sholat Mail membaringkan diri di selsar masjid. Niat awalnya hanya untuk menahan perutnya yang keroncongan. Tapi karena angin diselsar mesjid begitu sejuk berhembus, Mail tertidur pulas. Dalam tidurnya Mail bermimpi hadir dalam reunian ilmuan sepajang sejarah yang dilaksanakan di satu ruangan luas, entah dimana Mail juga tidak tahu. Mulanya dia bertemu dengan Karl Marx, filusuf kontrafersional di Indonesia. Namun dia tak memusingkannya, sebab sudah ada Martin Suraja yang meneruskan pemikrannya juga keinginanvya bertemu Heidegger sangat kuat.

“Hei anak muda sedang apa kau disni.” Seorang lelaki botak bertubuh jangkung menyapanya. Nampaknya yang barusan menyapanya persis Muhammad Iqbal sang mistikus kontemporer, namun Mail masih tak ambil pusing.

“Hei, Heidegger,” Mail berteriak, namun hiruk pikuk dalam ruangan pertemuan membuat suara Mail tak digubris.

“Hei anak muda,” lelaki yang mirip Muhammad Iqbal memanggil lagi. Namun kali ini dia berdiri dengan seorang kakek tua yang mirip Ibnu Arabi sang guru mistis, yang juga menatapnya.

“Aku mencari Heidegger, dia bermasalah denganku. Aku telah berkorban membeli bukunya namun malah pusing aku membacanya. Kalau kalian melihatnya tolong sampaikan bahwa aku mencarinya…” Belum lagi Mail selesai berbicara dia dibangunkan oleh penjaga masjid, karena telah waktunya sholat ashar tiba. Perutnya keroncongan lagi.

Tak puas dengan mimpinya yang tak tuntas, membuat Mail sibuk mencari cara. Suatu waktu dia disarankan menemui seorang dukun di kaki bukit Cibalak. Konon, dukun disana memiliki kekuatan sakti mantra guna. Namun Mail tak menyanggupinya dikarenakan tak punya biaya untuk pergi jauh keluar kota dan dia lebih memilih bertemu dengan dukun di pingir kota, yang lebih dekat. Setelah bertemu dan bertatapan langsung dengan sang dukun yang kelihatan cabul itu, Mail diwajibkan berpuasa tujuh hari tujuh malam hanya untuk mewujudkan mimpi itu. Tak sampai disitu saja Mail harus menyambangi anak yatim dan memakan mawar tujuh rupa.

Mail telah terbiasa puasa sebab dikeseharian selalu ia lakukan untuk menutup biaya makan, syarat lainya terkait memakan mawar tujuh rupa ia sanggupi, perutnya telah terbiasa diisi dengan makanan apa saja. Sehingga tak perlu takut terkena sakit perut. Namun menyambangi anak yatim adalah hal yang tersulit sebab untuk menyambangi diri sendiri Mail tak sanggup.

Teman-temannya mulai geram dengan perlakuanya yang menurut mereka adalah tindakan gila. Bahkan, ada yang telah menelpon rumah sakit jiwa. Namun Mail berhasil meyakinkan mereka dengan sekuat tenaga dia berjanji jika usaha terakhirnya dan jika saja melanjutkan tindakannya. Maka mereka wajib membawanya ke psikiater atau langsung saja ke rumah sakit jiwa.

“Ini yang terakhir, aku janji.”

Suatu sore ketika di hari terakhir ritualnya, Mail tak sanggup lagi berpuasa sebab di malam hari dia hanya memakan satu bungkus mie instan dan sahurnya hanya segelas air. Serasa matahari enggan tergelincir, seolah matahari sedang menertwakan dan mengoloknya. Kata orang puasa di hari terakhir memiliki banyak tantangan, di dalam kamar Mail hanya bergeliat di atas kasurnya menahan dahaga dan lapar yang memuncak.

Mail kaget bukan main, melihat sosok lelaki membuka pintu kamarnya. Heidegger, ya Heidegger. Seorang yang selama ini ia cari dalam mimpi, orang yang bermasalah denganya. Mail tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini, hasrat untuk meluapkan segala keresahan sontak muncul di depan matanya, kondisnya yang semula lemas kini bertenaga.

“Hey apakah Anda Heidegger sungguhan,” tanya Mail memastikan bahwa dia sedang tidak bermimpi, jari kakinya ia tekuk ke tanah kuat-kuat kukunya beradu dengan karet pelapis sepatu akibat tekanan itu membat ujung jari-jarinya tersa sakit dan ternyata benar dia sedang tidak bermimpi.

Heidegger mengangguk memberi isyarat bahwa dia adalah benar-benar orang yang Mail maksud. Heidegger yang tak tahu bahasa Indonesia hanya menggerakkan tangan sebagai bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan Mail.

“Yes no yes yes,” kata Heidegger, sambil mengarahkan memberi isyarat dari maksud pembicaraannya.

“Ya aku tau maksudmu, kau tak mengerti bahasa Indonesia, kan, hey bagaimana hubunganmu dengan Hanna Arendt, tak usah kau sembunyikan, cerita itu telah menjadi rahasia publik,” kata Mail sembari mengolok, “hahahahaha…. Filusuf, filusuf,” lanjutnya lagi.

“Oh yes no yes oh no yes no yess,” sambung Heidegger .

“Kau bicara atau mendesah, hah,” tanya Mail dengan nada menggertak.

Heidegger yang melihat gerakan Mail mengertak, dia langsung rifleks menghindar. Pertemuan yang sangat langkah dan merupakan satu-satunya kesempatanya setelah penantian yang lama maka tak Mail mulai menghitung satu persatu kekesalannya pada Heidegger dan memintanya untuk bertanggung jawab dengan mentraktirnya makan bakso untuk buka puasa.

“Hey Heidegger? Apakah aku sedang bermimpi?” Tanya Mail sekali lagi, sewaktu mereka menunggu penjual bakso menghidangkan pesanan mereka. (nld)

Yogyakarta 12 November 2016.

*Achmad Sayuti Majid, asal Maluku Utara, saat ini sedang menempuh studi di kota Jogja.

Exit mobile version