NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerintah kembali menaikkan target cukai. Presiden Joko Widodo akan membacakan Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang akan disampaikannya pada pidato kenegaraan Presiden di Gedung DPR RI Senayan.
Salah satu poin yang disampaikan Jokowi yakni menargetkan penerimaan negara dari sektor cukai sebesar Rp 155.4 triliun terdiri atas cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp 148.23 triliun, cukai etil alkohol sebesar Rp 170 miliar, cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6,5 triliun, dan pendapatan cukai lainnya yang diharapkan berasal dari cukai kantong plastik sebesar Rp 500 miliar.
Baca: Menjaga Marwah Pertembakauan Nasional (Bag. 1)
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berharap pemerintah benar-benar berempati terhadap kondisi industri rokok kretek nasional. Menurut Bhima dengan cara tidak menaikkan cukai hasil tembakau.
Bhima berujar, solusi untuk mempertahankan cukai adalah pemerintah bisa meningkatkan cukai dari barang kena cukai baru (ekstensifikasi cukai).
“Barang kena cukai baru yang cukup potensial dikenakan cukai misalnya minuman berpemanis, kemasan plastik, dan emisi kendaraan bermotor,” ujarnya dalam pesan tertulisnya, Rabu (16/8/2017).
Bhima berpendapat, kebijakan cukai seharusnya mengarah pada ekstensifikasi bukan intensifikasi. Sebab, cukai hasil tembakau dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah masuk ke titik jenuh.
Bhima menyaran bahwa dampak kenaikan cukai hasil tembakau dapat berakibat buruk terhadap kenaikan rokok ilegal.
“Logikanya sederhana, kalau rokok pabrikan makin mahal, orang akan pindah ke rokok tanpa pita cukai atau menggunakan pita cukai palsu. Tentu saja, kontraproduktif terhadap penerimaan negara,” ucapnya.
Baca: Menjaga Marwah Pertembakauan Nasional (Bag. 2)
Seharusnya, kata Bhima, pemerintah belajar dari negara lain yang menerapkan tarif cukai tinggi, perokok usia remajanya justru bertambah. Artinya, kenaikan cukai rokok tidak menyelesaikan masalah fiskal maupun target penurunan konsumsi rokok. “Pemerintah harus benar-benar belajar agar tidak salah mengambil kebijakan,” tuturnya.
Kenaikan cukai, terutama cukai hasil tembakau dinilai kurang tepat mengingat produksi rokok saat ini mengalami penurunan. Kenaikan cukai juga berdampak buruk terhadap penyerapan tenaga kerja di industri rokok.
“Realisasi penerimaan cukai saja tahun 2017 terancam meleset cukup jauh, lalu kenapa harus dinaikkan lagi target cukai rokok tahun 2018?” pungkas Bhima.
Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Ach. Sulaiman