EkonomiOpini

Kualitas Menkeu Terbaik Dunia: Defisit, Utang dan Memajaki

sri mulyani, puisi sri mulyani, pencetak utang, menteri pencetak utang, syair sri mulyani, sindir prabowo, sri mulyani sindir prabowo, nusantaranews
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Fans Page Facebook Sri Mulyani)

Kualitas Menkeu Terbaik Dunia: Defisit, Utang dan Memajaki

Berbagai alasan telah disampaikan dengan cara yang kelihatan logis dan rasional oleh Menteri Keuangan, para ekonom yang selama ini bersepakat dengan utang luar negeri dan para politisi serta pendukung total pemerintahan. Apologi naif yang selalu disampaikan sebagai latar belakang keperluan dan kebutuhan berutang adalah melalui pertanyaan retoris mereka yaitu apakah ada negara lain yang tak memiliki utang luar negeri? Sebuah pertanyaan pendidikan tingkat dasar yang semua ekonom dan sebagian besar publik tidak perlu menjawabnya. Yang perlu dipertanyakan balik adalah, apakah negara-negara yang berutang itu yang perlu dan mesti dicontoh sebagai negara berdaulat dan kaya raya sumberdaya alam serta memliki jargon kemandirian ekonom dalam visi Trisakti dan Nawacita Presiden?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan saat rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 11 Juni 2019. Bahwa dalam menyusun anggaran negara perlu dilakukan perhitungan yang tepat dan seefisien mungkin. Menkeu ini mengibaratkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti ‘amplop besar’, di mana segala sesuatu yang tersusun di dalamnya harus berada dalam amplop tersebut.

Sehingga jika kebutuhan dana melebihi batas dalam amplop, yang dilakukan adalah upaya untuk menutup defisit tersebut. Hal itu dilakukan dengan pemungutan pajak dan penarikan utang.

Baca juga: Utang Luar Negeri Bengkak, Masihkah RI Berdaulat?

Makanya ada amplop besarnya, jadi apapun yang harus kita lakukan mengacu pada yang ada di dalam amplop itu, kalau mau melebihi berarti ada konsekuensinya defisitnya makin tambah. Demikian kerangka logis yang disampaikannya. Namun, bagaimana praktek yang dilakukan Menteri Keuangan terbaik di dunia ini, jauh panggang dari api, utang luar negeri justru terus bertambah untuk menutupi defisit, bukan malah sebaliknya berupaya mengurangi.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Defisit dan Utang

Logika Sri Mulyani tak salah, bahwa jika suatu rumah tangga (skala mikro) keluarga ingin menyusun anggaran untuk tujuan rencana kebutuhan hidup di periode tertentu, maka harus memperhatikan ‘amplopnya’ atau saku pendapatannya, kalau karyawan berarti gaji dan penghasilan yang diterima. Melalui kondisi keuangan yang tetap sifatnya inilah kemudian Rumah Tangga keluarga, menyusun prioritas pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, jika asumsi ceteris paribus maka tentu kapasitas keuangan yang tersedia ini dapat dihabiskan atau disisakan untuk tabungan atau kondisi berjaga-jaga.

Apabila dihabiskan dana yang ada, maka konsekuensinya tidak akan ada yang disisakan untuk disimpan bagi kebutuhan berjaga-jaga atau untuk rencana pembelian kebutuhan lain lagi, misalnya membeli rumah dan perbaikan atau renovasi rumah, serta kebutuhan tersier dan jasa lainnya di kemudian hari.

Begitu pula halnya dengan mengelola keuangan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tidaklah terlalu jauh berbeda. Apabila penerimaan negara (pemasukan) yang telah tetap selama satu periode, maka pemerintah akan mengeluarkan dana itu diantaranya adalah untuk membiayai gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bersifat tetap (fixed cost) per bulan sampai satu tahun anggaran berakhir. Dan, kalau porsi biaya tetap untuk gaji ASN ini adalah 70 persen, maka 30 persen lah yang akan dibelanjakan untuk kebutuhan program dan kegiatan lain pemerintahan, termasuk pembangunan infrastruktur.

Akan tetapi, penerimaan negara inilah yang setiap tahun anggaran yang tak mencukupi dalam menutupi kebutuhan program-program dan kegiatan kementerian dan lembaga negara sehingga selalu mengalami defisit, termasuk pengeluaran membayar cicilan utang pokok dan bunga utang luar negeri. Lalu, apakah defisit anggaran ini harus juga diatasi dengan mengajukan tambahan utang luar negeri lagi atau bisa dengan cara lain? Konsepsi inilah yang tak pernah diselesaikan melalui manajemen keuangan yang baik oleh otoritas keuangan dan moneter, sehingga APBN selalu disusun atas dasar ‘besar pasak daripada tiang’ dan akan sulit keluar dari jebakan utang (debt trap).

Baca Juga:  DPRD Nunukan Berharap Semenisasi di Perbatasan Dapat Memangkas Keterisolasian

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan posisi utang pemerintah hingga akhir Mei 2019 telah mencapai Rp 4.571 triliun. Realisasi itu setara 29,72% dari Produk Domestik Bruto (PDB), walaupun masih di bawah batas 60% dari PDB.

Posisi utang saat ini mengalami peningkatan dari April 2019 yang sebesar Rp 4.528 triliun. Begitu pula halnya, jika dibandingkan dengan Mei 2018 mengalami peningkatan dari posisi Rp 4.169 triliun.

Jumlah utang luar negeri saat ini telah melebihi jumlah penggunaan dana dalam APBN setiap tahun yang disahkan oleh DPR bersama Kementerian Keuangan, yaitu berkisar antara Rp 3.000 triliun sampai Rp 4.000 triliun lebih. Untuk Tahun Anggaran 2018 saja APBN berjumlah Rp 4.115, 4triliun, terdiri dari sasaran (target) penerimaan negara Rp 1.894,7 triliun dan Belanja Negara Rp 2.220,7 triliun, serta Menkeu mematok defisit anggaran sebesar 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Posisi utang pemerintah ini akan semakin buruk, jika utang BUMN kita gabungkan yang masing-masing berdasar urutan 10 BUMN terbesar memiliki utang adalah sebagai berikut.

1. BRI menanggung utang Rp 1.008 triliun

Baca Juga:  Membanggakan di Usia 22 Tahun, BPRS Bhakti Sumekar Sumbang PAD 104,3 Miliar

2. Bank Mandiri menanggung utang Rp 997 triliun

3. BNI menanggung utang Rp 660 triliun

4. PLN menanggung utang Rp 543 triliun

5. Pertamina menanggung utang Rp 522 triliun

6. BTN menanggung utang Rp 249 triliun

7. Taspen menanggung utang Rp 222 triliun

8. Waskita Karya menanggung utang Rp 102 triliun

9. Telekomunikasi Indonesia menanggung utang Rp 99 triliun

10. Pupuk Indonesia menanggung utang Rp 76 triliun

Total utang 10 BUMN tersebut adalah Rp 4.478 triliun, kalau ditambah utang pemerintah, maka total utang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rp 9.049 triliun (mungkin inilah data yang dulu disampaikan paslon 02). Meskipun utang BUMN bersifat pemisahan dari kekayaan negara berdasar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, namun jika BUMN juga terjebak dalam utang, maka bagaimana mungkin penerimaan negara diharapkan optimal?

Pertanyaannya adalah, apakah postur anggaran defisit ini masih akan terus dipertahankan dan menjadi kebiasaan tanpa mencari terobosan (breakthrough) untuk menyelesaikannya? Apakah akan terus membebankan kekurangan dana pembangunan dan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri ini dengan pajak atau memajaki rakyat? Apakah pelajaran ekonomi yang diterima sampai Strata Doktoral dan Guru Besar (Profesor) hanyalah untuk menerapkan cara membangun negara lewat utang luar negeri dan memajaki rakyat?

Mestinya Menkeu juga harus belajar pada negara-negara yang tak pernah berutang dan tak terlalu tergantung dengan utang luar negeri, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini memiliki kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah atau kaya raya.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 3,052