“Krisis legitimasi ini akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Disintegrasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh beberapa gejala, diantaranya kerap kali terjadinya proses-proses sosial di masyarakat yang bersifat disosiatif (mengarah pada konfik).”
NUSANTARANEWS.CO – Kubu Jokowi betul-betul menyadari bahwa Prabowo merupakan “penghalang” utama untuk menjadikan Jokowi dua periode. Hal ini di dasari dari hasil berbagai lenbaga survei, dimana elektabilitas Jokowi mengalami stagnasi. Sebagai incumbent elektabilitas dibawah 50% adalah tanda bahaya.
Secara tren, elektabilitas Jokowi ini mengalami penurunan konsistensi karena berbagai hal. Sementara, elektabilitas capres-capres lain naik meski tidak tinggi dan tetap Jokowi bersama Prabowo selalu berada paling teratas. Pada sisi lain, elektabilitas Prabowo masih dalam posisi aman untuk menjadi capres. Bahkan, dalam beberapa survei elektabilitas Prabowo naik.
Untuk meminimalisir resiko kekalahan, “borong partai” adalah strategi yang paling tepat untuk memastikan Jokowi dua periode. Hanya tinggal memastikan PKS atau PAN untuk mendukung Jokowi. Jika PKS dan PAN mendukung Jokowi, bisa dipastikan Prabowo tidak dapat diusung menjadi Capres, karena syarat minimum 20% kursi DPR ataupun 25% suara sah nasional tidak terpenuhi. Langkah ini sangat mungkin karena di kedua partai tersebut memiliki kubu pendukung Jokowi yang cukup kuat.
Baca Juga:
Kotak Kosong dan Ancaman Disintegrasi Bangsa (Bag. I)
Untuk meredam kepentingan antara partai, Jokowi tentu akan memilih cawapres yang secara politik dapat diterima oleh semua partai anggota koalisinya. Dan kemungkinan besar Gatot Nurmantyo akan mengisi pos tersebut. Karena selain Gatot tak berpartai, Gatot juga cukup bersinergi dan berhasil selama menjadi Panglima TNI untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam yang saat ini sedang menggeliat.
Gatot juga memiliki elektabilitas tertinggi jika dibandingkan calon-calon lainnya. Sehingga akan lebih mudah diterima oleh anggota koalisi dibandingkan Jokowi harus memilih cawapres dari partai koalisi.
Jika skenario ini sukses, maka dapat dipastikan Jokowi akan melenggang menjadi Presiden untuk kedua kalinya. Mungkin bagi kubu Jokowi ini adalah jalan aman, tapi tidak bagi bangsa ini. Mengapa? Pertama, dari hasil berbagai lembaga survei Jokowi dimana elektabilitas Jokowi selalu dibawah 50% maka Jokowi dipastikan akan kalah oleh kotak kosong.
Jika dalam Pilkada seorang calon kalah oleh kota kosong maka Hal itu mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Jika pasangan calon kalah, Pilkada ulang akan digelar pada tahun berikut atau menurut jadwal sesuai perundang-undangan. Jika belum ada kepala daerah baru yang terpilih sedangkan masa jabatan kepala daerah lama sudah habis, maka untuk sementara akan ditugaskan seorang penjabat kepala daerah.
Sedangkan dalam pilpres, kemenangan kotak kosong tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Hal ini tentu akan memicu krisis legitimasi pada pemerintahan pasca pemilu. Sekalipun Jokowi menang melawan kotak kosong. Bisa dipastikan eskalasi politik akan terus menuju puncaknya. Karena puncak eskalasi politik tidak terjadi dalam pemilu 2019.
Kedua, krisis legitimasi ini akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Disintegrasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh beberapa gejala, diantaranya kerap kali terjadinya proses-proses sosial di masyarakat yang bersifat disosiatif (proses sosial yang mengarah pada konfik atau dapat merenggangkan solidaritas kelompok).
Proses interaksi sosial disosiatif terdiri dari tiga bentuk, yaitu persaingan, kontravensi, dan konflik, seperti persaingan tidak sehat, saling fitnah, saling hasut, pertentangan antar individu maupun kelompok, perang urat syaraf, dan seterusnya. Dan hal ini saat ini tengah terjadi di masyarakat kita. Ini adalah sinyal buruk bagi keberlangsungan repubik ini.
Jika strategi calon tunggal ini berhasil dijalankan, maka sia-sia sudah perjuangan para pendiri bangsa ini yang telah mengorbankan segala-galanya demi berdirinya republik ini. Dan pada akhirnya kita hanya bisa berucap: Selamat Tinggal NKRI.
*Bin Firman Tresnadi, Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM)