NUSANTARANEWS.CO – Korea Utara mengklaim pengembangan senjata nuklir dan serangkaian uji cobanya yang menargetkan Samudera Pasifik sebagai upaya negara itu menjaga perdamaian di kawasan. Adapun uji coba yang kerap dilakukan adalah sebuah isyarat bahwa negara komunis itu sanggup melawan berbagai macam jenis ancaman terhadap kedaulatan negaranya.
Diplomat senior Korea Utara menjelaskan, dunia harus mampu memahami secara harfiah tentang pengembangan senjata nuklir dan uji cobanya yang dilakukan negara di bawah pimpinan Kim Jong-un tersebut. Sebab, memahami secara harfiah maksud pemimpin tertinggi Korea Utara akan mengarah pada suatu pemahaman bahwa senjata nukir semata hanyalah untuk mempertahankan diri, bukan mengajak untuk berperang.
Atas ketegangan yang terus meningkat dalam menyikapi senjata pemusnah massal itu, Korea Utara justru mengancam balik bahwa mereka bisa saja melakukan aksi menembakkan bom hidrogen di atas Samudera Pasifik apabila tekanan terhadap mereka terus dilakukan terutama oleh Amerika Serikat dan sekutu.
Menurut Kim, senjata nuklir yang sebelumnya sempat diujicobakan semata hanyalah alat atau sarana untuk menjaga perdamaian di Semenanjung Korea di tengah tekanan kuat dari Amerika.
Seperti diketahui, serangkaian uji coba senjata nuklir September lalu telah mendorong Dewan Keamanan PBB duduk berdiskusi guna memberikan tekanan dan sanksi terhadap Korea Utara karena uji coba tersebut dianggap mengancam perdamaian di Semenanjung Korea yang selama ini masih terjaga. Senjata nuklir Korea Utara memang mengirimkan pesan negatif karena nyatanya Perang Korea sebetulnya belum selesai dengan perjanjian damai melainkan hanya gencatan senjata. Artinya, secara teknis Korea Utara dan Korea Selatan masih dalam situasi berperang meski kedua negara selama ini masih terus menahan amarah diri dan berkomitmen menjaga kehidupan.
Amerika diketahui menjadi pihak yang paling agresif menyikapi senjata nuklir dan rudal balistik Korea Utara. Sementara Korea Selatan dan Jepang menjadi pihak yang paling was-was dengan perkembangan Korea Utara yang dimaknainya sebagai sebuah ancaman serius di kawasan.
Kekhawatiran Korea Selatan dan Jepang memicu Amerika tampil di gara terdepan membela dua negara sekutunya tersebut. AS berkepentingan menghentikan program nuklir Korea Utara dan memandangnya sebagai persiapan untuk kembali menaklukkan Korea Selatan setelah gagal pada 1950-an silam.
Ketegangan tersebut secara khusus menyebabkan adanya pertukaran ancaman antara Washington dan Pyongyang. Trump mengancam akan mengambil opsi militer menyikapi krisis di Semenanjung Korea. Sementara Kim juga sebaliknya memperingatkan Amerika bahwa mereka akan meluluhlantakkan AS dengan bom hidrogennya bahkan lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Lantas ke mana muara ketegangan ini nantinya akan berujung?
Opsi militer tampaknya bukanlah solusi di tengah ketidakpastian situasi global. Pasalnya, hampir seluruh negara kini tengah menjajaki perubahan menyambut globalisasi gelombang ketiga yang tampaknya akan segera bergulir. Dunia kini harus keluar dari krisis global yang sudah sejak lama mendera dunia.
Negara-negara dunia, khususnya negara maju tengah berupaya keras menciptakan tatanan baru menghadapi krisis yang tak berkesudahan. Dalam situasi gamang, dunia dituntut untuk lebih efisien, efektif dan inklusif sehingga mampu keluar dari krisis.
Konflik militer tentu bukan menjadi bagian dari upaya tersebut. Sebaliknya, malah justru menghambat dan merusak tatanan dunia baru yang sudah mulai terbentuk. Bayangkan, jika perang di Semenanjung Korea meletus, sedikitnya akan melibatkan sekitar 22 juta tentara apabila skema perang melibatkan AS-sekutu (Korea Selatan dan Jepang) versus Korea Utara-sekutu (Rusia dan China). (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews