Cerita Bersambung: Andika Wahyu A. P.*
NUSANTARANEWS.CO – Sementara Bayu mengintip dari balik tembok ruangan itu, Yanto ketakutan melihat istrinya, Siti yang kini di tempelkan ujung pistol revolver milik Rendra, nampak tetesan air mata membanjiri mata dan pipi istrinya tersebut, ketakutan dan memejamkan matanya seakan siap untuk ditembak mati kapanpun oleh Rendra, namun nampaknya Yanto tak menjawab pertanyaan Yoga baru saja.
“Ah, bu, nampaknya suami mu ini menginginkan kematianmu lebih cepat.”, Yoga berucap karena tak ada respon apapun dari Yanto tentang pertanyaannya sebelumnya. Rendra pun melepaskan pengaman silindernya dan segera bersiap meledakan kepala Siti di hadapan Yanto.
“Tunggu, bunuh aku, tapi jangan keluarga ku, mereka tidak tahu apa – apa.”, Yanto mencoba menahan Rendra yang akan menembakan isi pelurunya kepada istri Yanto.
“Oh.. klise.. membantu penjahat seperti preman kayak kau ini, sama seperti kau melakukan kejahatan itu sendiri.!”
“Lagipula, kalian semua mati juga nggak bakal ada yang nyariin kan di sekitar sini.”, Rendra menambahkan, lalu semakin menekankan ujung pistolnya pada kepala Siti, dan langsung menembak kepalanya itu hingga darah berceceran di lantai, dan nampak pecahan-pecahan otak juga ikut terjatuh di lantai-lantai rumah tempat Rendra mengeksekusi.
Yanto nampak menangis meratapi mayat Istrinya, begitupun Bayu yang menutup mulutnya, dengan ekspresi terkejut, tak percaya bahwa Ibunya telah tiada ditangan dua pria tak dikenal yang menerobos masuk rumahnya, dan disamping itu ia tak mengerti mengapa dua pria ini menembak mati Ibu dan mungkin sebentar lagi adalah Ayahnya yang akan ditembak mati di ruangan yang sama.
“Jadi? Ada kata-kata terakhir untuk diri sendiri mungkin?”, Yoga mulai melepaskan pengaman pistolnya dan bersiap melepaskan satu peluru menembus kepala preman yang sejak kemarin ia buru tersebut.
“Bayu! Lari nak!”, Yoga mengernyitkan dahi, heran dengan apa yang ia dengar, bahwa bisa-bisanya ia tak ingat dengan anak Yanto yang ada dirumahnya sekarang ini,
ia pun langsung melihat ke segala ruangan, memburu anak bernama Bayu ini, dan kemudian tak lama setelah itu ia melihat wajah Bayu yang sedang bersembunyi di balik tembok tak jauh dari tempat kedua orang tuanya akan dieksekusi, berdiri terpaku dengan pistol mainan di tangannya sedang memperhatikan mereka bertiga.
“Ah, Bayu?.. Hai! Sini nak..” Yoga mengisyaratkan Rendra untuk membawa anak itu dihadapan Ayahnya,
dan Rendra pun segera menghampirinya, lalu menggandeng tangan Bayu perlahan berjalan ke dalam ruangan melihat ke arah Ayahnya, Yanto yang telah ada di ujung maut, kini Yoga telah menjelma menjadi malaikat yang siap mencabut nyawa Ayahnya kapanpun ia inginkan.
“Apa yang ingin kau ucapkan Yanto..?” tanya Yoga kembali, sejenak Yanto nampak tersenyum dan berkata “Nak jangan—“, suara tembakan menggema di seluruh ruangan, peluru melesat menghujam menembus tengkorak di hadapannya, ketika belum sempat Yanto menyelesaikan pesannya terhadap anaknya itu, ia telah tertembak mati tepat di sisi kepalanya oleh Yoga, suara tembakan benar-benar menggema di seantero ruangan rumah itu, dapat dipastikan suara itu menembus hingga keluar, namun siapa yang khawatir? di situasi seperti ini, tak satupun orang yang akan datang dan menolong keluarga ini, karena kebanyakan orang-orang akan lebih mencari aman untuk dirinya sendiri ketimbang untuk berkorban nyawa demi orang-orang seperti keluarga preman ini, terlebih jika mereka masih waras dan telah membaca beberapa kabar di koran tentang bagaimana kondisi perkotaan belakangan ini.
“Oh, Aku minta maaf..”, Yoga, melihat ke arah Yanto yang tergeletak tewas di depan anaknya sendiri, bersimbah darah, dengan lantai yang begitu licin dengan darah segar melalui kepala Yanto yang tertembus sebutir peluru dari silinder revolver milik Yoga, sejenak ia memperhatikan Bayu yang terpaku melihat Ayahnya tergeletak tak bernyawa di hadapannya, bersama sang Ibu yang juga sama-sama tewas di ruangan tersebut. Yoga pun menghampiri Bayu kecil yang masih nampak shock dengan tembakannya yang terakhir,
“Hei..”, Yoga nampak menghampirinya lalu berlutut,
Ia berusaha mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bayu yang relatif lebih rendah darinya, sekaligus menghalangi Bayu untuk melihat mayat kedua orang tuanya tersebut, karena bagaimanapun Yoga sadar bahwa Bayu hanyalah anak kecil yang tidak tahu menahu tentang permasalahan kedua orang tuanya, terlebih sang Ayah.
“hmm.. kamu suka tembak-tembakan ternyata..”, Yoga melihat pistol mainan yang dipegang Bayu di tangannya yang kecil itu.
“Kamu suka nembak siapa?”, tanya dia kembali,
“Ayah..” jawab Bayu dengan lemas, karena masih dalam keadaan shock, melihat dua pembunuh berdiri di hadapannya kini.
“Kamu tahu, kalau pistol ini mainan?”, tanya Yoga, namun Bayu nampaknya tak merespon, mata mereka nampak bertemu di keheningan yang mendadak terjadi di ruangan yang sebelumnya penuh dengan jeritan memohon ampun itu.
“Hmm.. aku punya mainan, mungkin kamu bisa mencobanya.”, Yoga memberikan pistol revolver asli yang ia pegang kepada Bayu, dengan sigap tangan kecil Bayu meraih pistol revolver tersebut dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan masih memegang pistol mainan miliknya. Sejenak ia melihat sekaligus terpesona dengan pistol asli yang sedang ia pegang di tangannya langsung, menyentuh kulitnya untuk pertama kali, sedikit berat dengan sensasi dingin yang belum pernah dirasakan anak itu sebelumnya. Sementara itu Yoga meminta pistol revolver milik Rendra yang berdiri di belakangnya, dan ia pun menyerahkannya pada Yoga saat itu juga.
“Dunia itu kejam nak, semua hal harus dilakukan dengan profesional, dan total, jangan meninggalkan bekas, bahkan noda sedikitpun, karena siapa tahu, bahwa itu adalah hal terakhir yang akan kita lakukan sebelum kita mati beberapa jam atau menit selanjutnya.”, Yoga mengecek silinder pistol revolver yang diberikan Rendra padanya beberapa saat yang lalu, nampak peluru memenuhi setiap lubang yang ada di dalam silinder tersebut.
“Sekarang, aku dengar kamu pengen jadi polisi ya?” tanya Yoga pada Bayu yang masih terdiam terpesona dengan revolver yang ia pegang.
“Bayu, ini pelajaran menembak pertama yang kamu dapat, pistol kita benar-benar terisi penuh dengan peluru Bayu,..” Yoga menempelkan ujung revolver pada kepala anak kecil bernama Bayu itu, “Sekarang, arahkan pistol itu di keningku..” Yoga menuntun dengan meraih tangan Bayu yang memegang revolver miliknya untuk ditempelkan di kening Yoga perlahan, kini mereka berdua saling menodongkan revolver di kepala masing-masing lawan,
“kau anak yang kuat Bayu, bahkan ketika orang tua mu meninggal di depan wajahmu sekalipun.. tapi aku yakin di dalam hatimu dendam sangat membara bukan? sekarang, dalam hitungan ketiga, kita berdua menembakan pistol ini bersama-sama..” Yoga nampak tersenyum kepada Bayu, namun dibelakang dia partnernya tidak begitu yakin dengan Yoga,
“Tapi, Yog—“
“Rendra..! Hitung sekarang!”, perintah Yoga pada koleganya tersebut dengan tegas.
Dan terpaksa Rendra menuruti keinginan gila partnernya tersebut, walaupun ia tahu, malam ini sudah cukup gila untuk mereka bermain-main dengan nyawa sendiri, “Satu.. dua..”, Yoga nampak memasang wajah penuh emosional, tertawa senang melihat mata dan ekspresi Bayu yang sepertinya kini benar-benar telah bangkit dari rasa shocknya itu, kembali teringat kedua orang tuanya yang mati sia-sia ditangan dua pembunuh ini, “sekarang atau tidak sama sekali untuk membalaskan dendam mereka”, hal yang terus berusaha merangsek masuk ke dalam logika anak kecil bernama Bayu ini sebelum Yoga benar-benar menarik pelatuk revolvernya.
Nampak mengerti dan dipenuhi kemarahan atas kematian kedua orang tuanya, Yoga kini nampak begitu siap bahkan kini berteriak bersamaan dengan Bayu yang perlahan mulai dapat melepaskan semua emosi yang ada di dalam dirinya, demi membalaskan dendamnya pada pembunuh yang kini mengajaknya berduel dengan revolver yang masing-masing dipegangnya, hanya “hidup atau mati”, kalimat yang terus mengiang keras bahkan di benak anak kecil berumur sepuluh tahun bernama Bayu.
“AAAKKKKGGHHH!!!”
“TEMBAK SEKARANG! KAU PENGECUT! TEMB—“, suara tembakan muncul menggema memantul disetiap dinding ruangan itu, menghantarkan pada transisi suasana menuju keheningan yang absurd akan apa yang telah terjadi pada mili second sebelumnya, asap putih dari tempat mereka berada tadi tampak mengepul bersiap mengisi keheningan absurd dari permainan antara seorang pembunuh dan seorang anak kecil tak berdosa. Entah siapa yang memulai tembakan terlebih dahulu namun yang pasti keduanya telah terpental hingga beberapa senti di belakang mereka.
Baca Kisah Sebelumnya: Konon Namanya adalah Celurit
*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta. Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.