NUSANTARANEWS.CO – Kisah Panglima GAM Aceh. Di masa konflik, sosoknya juga sempat membuat heboh jagat tanah air dan juga elit GAM di Swedia karena bertemu dengan Sekretaris Kabinet Bondan Gunawan dan artis Cut Keke pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman (Gus Dur)
Ketika aparat keamanan mengklaim telah menembak Teungku Lah hingga sekarat, pada Maret 2000, Teungku Lah malah mengundang reporter SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara santai di tengah hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli Tobing untuk melihat kondisinya yang saat itu ternyata dalam kondisi sehat walafiat.
Menurut prajuritnya, karena keta’atan agamanya Sang Panglima memiliki karamah ilmu kebal, dalam bahasa aceh disebut “Keuramat“ dan sangat lihai dalam penyamaran. Konon kabarnya Sang Panglima sering berganti wajah dan punya “ilmu menghilang“, di aceh disebut “ilme Prabon“. Benar tidaknya, Allahualam. Tetapi hal tersebut banyak diyakini oleh masyarakat Aceh hingga sekarang.
Pihak pemerintah menjadi malu setelah mendengar dan melihat Sang Panglima masih hidup. Aparat kemudian kembali melakukan operasi intelijen untuk penyergapan dengan lebih teliti, akurat dan penuh kehati-hatian.
Pada 22 Januari 2002, aparat keamanan kemudian melakukan penyisiran di perbukitan Jim-jim Cubo, dan terjadilah kontak senjata selama berjam-jam antara pasukan TNI dengan Pasukan GAM. Serangan ke markas GAM tersebut berhasil memukul mundur pasukan GAM.
Di antara beberapa prajurit GAM yang gugur, ada salah satu janazah yang mirip wajah Teungku Lah. Setelah dilakukan evakuasi dan penyelidikan melalui keluarganya ternyata benar yang syahid dalam pertempuran tersebut adalah Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’i bersama Istrinya Cut Nyak Fatimah.
Pada saat pemakaman Sang Panglima bersama istri dan prajuritnya, pada malam menjelang subuh 25 Januari 2002, isak tangis dan selawat bergema di Desa Cubo Sukon, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya sekarang. Jenazah Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafi’i bersama istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku Daud Hasyim dan Teungku Muhammad Ishak dimakamkan di samping rumahnya sebagai tempat peristirahatan terakhinya.
Prosesi pemakaman berlangsung sederhana tanpa simbol-simbol GAM seperti bendera dan letusan senjata api sebagaimana lazimnya seorang panglima militer. Bahkan tidak ada petinggi GAM yang ikut menghadiri prosesi tersebut.
Kepergiannya ditangisi oleh seluruh Rakyat Aceh dan pasukan GAM. Teungku Hasan Muhammad di Tiro sebagai Wali Neugara dan Pasukan Komando GAM yang berpusat di Swedia menyatakan berkabung selama 44 hari kala itu.
Teungku Lah syahid di usia 54 tahun. Kisah perjuangan Teungku Lah berakhir dengan pilu, dan tragis karena istrinya yang gugur bersamanya saat itu sedang mengandung enam bulan. Salah seorang prajurit setianya mengisahkan bahwa setelah istrinya tertembak, sang panglima sangat sedih, dan kemudian melepaskan jimatnya, sambil memeluk Ummi Cut Fatimah dalam pangkuannya, beliau pun akhrnya tertembak.
Kata terakhir Sang Panglima setelah tertembak dan saat-saat menemui ajalnya mengatakan: “Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh” (Kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu), kata Teungku Lah kepada pengawal pribadinya yang selamat bernama Jalaluddin. Kalimat itu mengiringi kepergian sang panglima yang sangat dihormati. Bersambung. (M2)