Opini

Kenaikan Harga Gas Industri, Hukum Pasar yang Tak Bisa Diintervensi

Gas Industri. (Foto: Petrominer)
Gas Industri. (Foto: Petrominer)

Kenaikan Harga Gas Industri, Hukum Pasar yang Tak Bisa Diintervensi. Kenaikan harga produk, baik itu barang dan jasa adalah soal biasa dalam terminologi korporasi dan pasar berkaitan dengan hukum permintaan dan penawaran. Maka itu, rencana kenaikan harga gas industri yang telah ditetapkan oleh PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) pada tanggal 1 Oktober 2019 tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh curahan hati para pengusaha kepada Presiden. Hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam setiap pengambilan kebijakan kenaikan harga barang dan.atau jasa oleh korporasi BUMN lainnya dan juga oleh swasta.

Baca juga: Mencermati Penolakan dan Ancaman KADIN Atas Kenaikan Harga Gas

Sebagaimana halnya anggota organisasi para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang juga punya kewenangan (diskresi) dalam menetapkan harga produk, barang dan jasa yang mereka tawarkan kepada konsumen, tanpa bisa konsumen mengadukannya kepada Presiden. Tentu saja, konsekuensi menaikkan harga barang dan jasa yang dilakukan akan dikompensasi dengan misalnya menurunnya permintaan atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh para pengusaha. Namun, bagi para pengusaha yang menerapkan manajemen profesional, efisien dan efektif, ibarat pepatah,banyak jalan menuju Roma yang bisa ditempuh.

Baca Juga:  Artileri Berat Korea Utara Dalam Dinas Rusia Dikonfirmasi

Selain itu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) harus tetap konsisten menerapkan kebijakan kenaikan harga gas industri sesuai rencana strategis korporasi yang telah disusun. Sebab, dengan tingkat harga hulu gas yang berasal dari perusahaan swasta (nasional dan asing) sebagai penyuplai ke PGN telah mahal, tidak memungkinkan bagi PGN untuk menyediakan harga lebih rendah dari biaya produksi dan distribusinya.

Baca juga: Menjaga Keberlanjutan PGN Sebagai BUMN Strategis Melalui Harga Gas Industri yang Rasional

PGN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilindungi oleh konstitusi pasal 33 UUD 1945, dan oleh karena itu Pemerintah harus menjaga keberlanjutan pengelolaannya dengan prinsip-prinsip manajemen efisien dan efektif serta aman dalam melakukan aksi korporasi.

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) harus memperhatikan dengan.seksama kondisi industri hulu migas Indonesia, jangan sampai mengorbankan memberatkan kinerja korporasi dalam menghadapi tantangan persaingan pasar minyak dan gas bumi di masa depan. Perlu kiranya bagi Kementerian ESDM untuk mengatur harga hulu gas industri agar dapat sesuai dengan Harga Pokok Produksi (HPP) yang diterima oleh PGN, sehingga PGN punya dasar dalam menetapkan harga gas industri.

Baca Juga:  Eropa Berharap Menjadi "Gudang Senjata Perang" untuk Menyelamatkan Ekonominya

Penataan hulu migas Indonesia (termasuk pembangunan infrastrukturnya) menjadi hal mendesak untuk diperhatikan, terutama terkait harga hulu gas yang dibebankan pada PGN pada Tahun 2018 sudah sangat mahal. Harga yang diberikan pada PGN adalah $6-8 MMBtu, dibandingkan dengan harga gas di negara lain dalam kawasan ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia yang lebih murah, yaitu hanya masing-masing sebesar $5,4-6,3 MMBtu dan $4,5-6 MMBtu.

Baca juga: Pantas dan Adilkah Industri Mengkonsumsi Gas Subsidi?

Atas dasar itulah, maka opsi menunda atau melakukan secara bertahap, bahkan menolak atau menunda kenaikan harga gas industri ini atas nama konstitusi ekonomi dan permasalahan hulu industri migas serta keberlanjutan PGN dalam mengemban misi negara untuk kemandirian ekonomi, mengatasi defisit migas dan APBN tidak bisa diterima akal sehat. Yang paling mungkin dilakukan oleh PGN adalah, mengarahkan subsidi pada kelompok yang tepat sasaran, atau beberapa industri yang memang harus memperoleh insentif dari pemerintah dalam rangka membuka lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan serta memajukan perekonomian bangsa.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Sebagaimana hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menanggai kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh PT Pertamina, bahwa kenaikan BBM Itu murni kebijakan korporasi (corporate) yang dilakukan Pertamina, saat usai rapat dengan Komisi XI, di Gedung DPR, Jakarta, pada Hari Selasa tanggal 2 Juli 2018 yang lalu yang harus bebas dari intervensi politik.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

 

 

 

 

 

Catatan Redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggung jawab serta isinya tidak mewakili gagasan redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,051