NUSANTARANEWS.CO – Pada suatu hari Alexander Agung berhasil menangkap bajak laut yang senantiasa mengacau lautan. Kemudian terjadi dialog antara Kaisar dengan sang bajak laut. Iskandar Agung: “Mengapa kamu mengacau lautan?” Dibalas oleh sang bajak laut: “Mengapa Baginda berani mengacau dunia? Sebelum Sang Kaisar bereaksi, si bajak laut berkata lagi: “Apakah karena aku merompak dengan perahu kecil, aku disebut maling? Sedang Anda, karena melakukannya dengan kapal besar, dipanggil kaisar!” (Noam Chomsky)
Ilustrasi dialog di atas menjadi fenomena yang pas ketika kita menengok kondisi tanah air kita tercinta belakangan ini, yang kekayaan alamnya dirampok, dijarah habis-habisan oleh para investor yang mengatasnamakan pembangunan. Tapi apakah rakyat mengerti bahwa telah terjadi peristiwa perampokan kekayaan alam secara terselubung?
Selama ini, rakyat sama sekali tidak merasakan hasil dari slogan pembangunan itu. Malah sebaliknya, rakyat merasakan bahwa semakin sulit untuk bertahan hidup dan berusaha, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan. Pembangunan yang berlangsung di pedesaan kini telah menggusur rakyat menjadi gelandangan karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan perkembangan zaman.
Ketika muncul suara-suara parau yang mencoba mengkritisi proses pembangunan yang sedang berjalan itu tidak adil, seketika itu pula terdengar suara lantang menghujat balik dengan istilah anti investasi, anti orang asing, anti demokrasi, dan sebagainya dengan istilah-istilah yang sama sekali tidak dimengerti oleh rakyat.
Padahal rakyat hanya mencoba untuk bertahan hidup, bekerja menguras keringat untuk mencari 1 gram emas, tapi mereka langsung dihujat sebagai penggali liar. Sedangkan PT. Freeport yang menggali berton-ton emas untuk kepentingan negerinya dianggap sebagai penyumbang devisa. Demikian pula ketika ada seorang petani kecil di sebuah kampung kecil berhasil menemukan bibit unggul langsung dituduh menjiplak, melanggar hak cipta, dicap pencuri, dan sebagainya.
Tahukah pemerintah bahwa rakyat hanya ingin meminta sedikit keadilan, agar bisa membeli pakain, bisa memberi makan keluarga, bisa membayar hutang yang menumpuk, bisa sekedar memberi anak uang jajan ketika sekolah.
Pekikan suara keadilan dari seorang anak bangsa kini telah menjadi musuh bersama bagi para penguasa negeri dan pemilik modal yang mencoba mempertahankan hegemoninya. Bahkan suara keadilan dianggap sebagai anti globalisasi oleh para pemimpin dunia. Suara keadilan kini menjadi usang terpinggirkan oleh rayuan iblis yang meninabobokkan. Rasa kebanggaan sebagai anak bangsa kini lumer tergerus gaya hidup hedonis yang memabukkan.
Dunia kini semakin sempit. Teknologi satelit telah merubah dunia menjadi kampung kecil. Terpaan gelombang informasi selama 24 jam penuh telah menyihir umat manusia hidup dalam dunia fantasi. Kebenaran menjadi usang. Kebaikan kini hanya menjadi sekedar formalitas basa-basi kehidupan sosial. Agama pun kini telah menjelma menjadi obat instan guna mengatasi penyakit sosial masyarakat.
Masyarakat sudah tidak mampu lagi membedakan mana “dunia nyata” mana “dunia fantasi” mana hoax mana yang asli yang dikemas dan di share oleh media sosial dalam beragam bentuk, termasuk berita dan informasi. Sehingga tanpa disadari masyarakat kini tercabut dari akar kearifan lokal yang menjaga kesadaran kemanusiaannya selama ini.
Dunia kini telah menjadi panggung sandiwara. Bagi mereka yang tidak mengenal jadi dirinya maka mereka akan menjadi aktor-aktor yang melengkapi panggung sandiwara itu. Mengikuti irama iblis yang memabukkan, menggairahkan bahkan merangsang hingga lupa ingatan.
Kini kata keadilan dan kebaikan hanya sekedar menjadi basa-basi demi menjaga silaturahmi. Apakah keadilan akan datang di negeri ini? Kata seorang pejuang tua lebih dari seribu tahun yang lalu berkata, “keadilan tidak datang dari langit. Keadilan harus direbut.” (Agus Setiawan)