NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – 3 Januari 2018, tepat satu tahun Kejaksaan Agung RI menyatakan P21 atas kasus korupsi kondensat TPPI (PT Trans Pacific Petrochemical Indotama) dengan kerugian negara sebesar Rp 37 triliun. Jauh sebelumnya, Mei 2015, Kabareskrim saat itu yang dipimpin Komjen Budi Wiseso melalui Dirtipikor Ekonomi Brigjen Vicktor E Simanjuntak telah menetapkan tiga tersangka korupsi Kondensat TPPI. Mereka antara lain Honggo Wedratmo pemilik PT TPPI, Raden Priyono, mantan kepala BPMigas dan Djoko Harsono, mantan Deputy Keuangan BP Migas.
Sikap serius Mabes Polri menangani kasus TPPI kala itu mendapat acungan jempol publik. Citra Polri melejit naik, di atas citra KPK. Bahkan, Komjen Pol H. Arie Dono Sukmanto, sebagai Kabareskim, membuat meme resmi “Polri ungkap kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah”.
Meme dengan foto Arie Dono, sempat menarik perhatian publik. Bukan sekadar meme, sikap tegas pun dilakukan. Pebuari 2016, Raden Priyono dan Djoko Harsono ditahan di rutan Mabes Polri. Namun seiring kepergian Budi Waseso menempati jabatan baru sebagi Badan Narkotika Nasional (BNN), perjalanan penanganan kasus TPPI semakin melambat, bahkan mangkrak sampai sekarang.
Sangat ironis, kasus yang merugikan negara 37 triliun pun dapat terhenti. Honggo, yang diberikan izin berobat ke Singapore, saat ini dinyatakan buron. Demikian juga, Raden Priyono dan Djoko Harsono pun mendapat penangguhan tahanan sampai sekarang. Kepergian Budi Waseso dari Kabareskim seolah menjadi “pintu penutup” kasus TPPI, yang semestinya justru dipercepat paska P21.
Semestinya, dengan P21, justru kasus korupsi kondensat dapat dipercepat ke proses penuntutan pengadilan oleh jaksa penuntut agar terbuka adanya pihak lain yang terlibat. Lazimnya pihak penyidik Bareskrim Mabes Polri segera melimpahkan berkas berikut seluruh tersangka. Bukan kerena alasan berkas terpisah dan Honggo masih dinyatakan buron, lantas dijadikan sebagai alasan penundaan. Sebaliknya dalam hukum acara di Indonesia, Honggo pun dapat disidangkan secara “in absentia”.
Tapi realitas hukum menjadi berbeda. Hukum hanya tajam ke bawah. Mengingat kasus TPPI melibatkan banyak pejabat di masa lalu, dan sebagian masih menduduki jabatan penting saat ini, maka pengaruh dan akses politik mereka ke penguasa terus dimainkan. Publik pun sudah menduka sejak awal kasus ini bergulir. Menjadi sangat jelas ujungnya. Sejak ditetapkan TPPI sebagai status korupsi, mulai dari tahap penyelidikan sampai ke tahap penyidikan (3,5 tahun), wajar kasus TPPI justru mangkrak di Bareskrim.
Kasus TPPI harus dipahami secara urut agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda. Kasus ini dimulai ketika PT TPPI saat itu mengoperasikan kilang di Tuban mengalami kesulitan keuangan. Pemerintah ketika bernisiatif mencari solusi lewat pertemuan (Mei 2008) yang dihadiri oleh Wapres JK, Menko Perekonomian Budiono, Menkeu Sri Mulyani, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Dirut Pertamina Arie Soemarno dan Direktur Utama TPPI Amir Sambodo.
Kesimpulan rapat tersebut, dari risalah yang disampaikan oleh Anggito Abimayu selaku Kapala Kebijakan Fiskal, bahwa pemerintah bersikap menyelamatkan TPPI dengan cara memberikan syarat lunak untuk mendapatkan kondesat bagian negara dan Pertamina untuk diolah di kilang TPPI. Produknya dapat diambil Pertamina sesuai harga yang wajar sesuai “landed price” di Surabaya dengan formula MOPS plus 1,5 % sampai 2 % dan tidak boleh lebih mahal dari harga impor, sekaligus hasil keuntungan TPPI diwajibkan untuk mencicil hutang ke Pertamina. Jika ditemukan ketidakcocokan harga dan Pertamina tidak membutuhkan, maka produk kilang TPPI baru boleh dijual ke pihak lainnya atau di ekspor. Namun semuanya harus dilindungi oleh jaminan pembayaran.
Dalam pelaksanaannya, terjadi penyimpangan hasil penjualan kondensat bagian negara oleh TPPI, yang diduga merugikan negara. Jelas dalam proses ini, BPMigas lah yang paling hasrus bertanggung jawab atas setiap tindakan penyimpangan yang dilakukan TPPI.
Memasuki tahun politik Pileg dan Pilpres, semestinya kasus TPPI ini harus segera diangkat. Bukan saja besarnya kerugian negara yang mencapai Rp. 37 triliun, tapi sisi hukumlah agar dinilai adil bagi semua pihak. Dengan membiarkan kasus ini terus mangkrak, bisa jadi membuat citra negatif capres Jokowi. Jokowi dapat dinilai lemah terhadap pemberantasan korupsi, apalagi Polri dan Kejagung secara struktural berada di bawah kendali Presiden.
Beda dengan KPK yang independen.