Kasidah Santri
Bismillah, dengan ucap paling baka
Aku bersaksi: bahwa hikyat tangan-tanganku
Menggenggam kitab-kitab dan peradaban sarung paling hakiki
Lantas, kerap menakdzimi
Wejangan-wejangan suci para kiai
Telah ku tafsir berkali-kali pagar suci
Mengangungkan permata pertaubatan di kesaksian sujud
Hingga ritmis air mata tumpah
Atas kegelapan dari dosa-dosa yang kucipta
Ini kali, ingin kutanam bibit-bibit iman di ladang hati
Kesabarannya menjelma akar-akar kekar
Serta desing gemerlap dzikir
Memancar pula di tangan tuhan
Doa-doa habis kupanjatkan
Huruf-hurufnya mengalir sebagaiamana sungai tak kenal akhir menjumpai hilir
Memalingkan sekujur resah, yang kerap kali berdiam di curam dada
Sebab, salah satu nya jalan berkah
Berhasil mencapai kristal barokah
Khusyu’ tawaduk suntuk tajuk disepanjang rukuk
Melafalkan sembilan puluh sembilan nama-nama Tuhan
Mentalbiahkan gelora fatihah di otak ku
Sembilu meredam nyala angkara murka bara nafsu di dadaku
lepas bujuk dari rencana syetan tak berwujud.
Annuqayah, 2019
Suluk Tokang Nyolo
Berawal dari nyala bulan yang memancar di dada, sesekali, aku harus menyesaki kerikil-kerikil tajam untuk beranjak, menyusuri jalan-jalan retak, diantara celah sebongkah harap di kepala, Menggenggam segenap bara api menari di tungku colog dan serangkap salendheng di tanganku.
Di belantara laut, ku tatap langit dengan tengadah, mengalirkan Kristal bening do’a-do’a pada tuhan, Agar salendheng yang ku pasang, ikan-ikan senantiasa riang jumpalitan, deru gemuruh debur ombak menyapaku, mengajariku cara menerjang sekeranjang karang, Mematahkan asin resah di lidah, serta mematikan nyalang lelah pada mata, Sebab keinginanku, setajam sawuh-sawuh yang menancap di tubuh batu.
Walau penat kian pekat, hingga tubuh tak henti-henti mengalirkan peluh, tetap ku selami hasrat dan niat diatas pasir penindasan, meski sering desing tangisku, mengembara di ujung waktu.
Ikhwal getar mencipta denyar di darahku, mengalir pada hilir pesisisr batin, bermuara di sungai ruh, melepas desah dari kembang mimpi, maka disitulah, aku tak lagi bisa membedakan, antara gemerlap bintang, dan kebatilan jiwa di tubuhku.
Sebagai penikmat laut, aku mesti tabah dan pasrah pada setiap nasib hidung: busuk tinja, air tuba, serakan sampah, lumpur, kencing nelayan dan muntah manusia, Semuanya larut ku nikmati, dan yang tersisa di dadaku biru keyakinan, tak kenal surut untuk merdeka dari pilihan.
Semilir angin mendesir-desir menyisir meniup ubun-ubun takdir, mendiami berbagai buih sakral di benakku, meremas sum-sum, serta meretas girang perih paling taji di curam nadi, Sebab risalah keberuntungan, masihlah akhir dari jawaban.
Fajar menyingsing kemerah-merahan di mataku, gema subuh mengajakku pulang pada peluk anak-istri, padahal, aku masih ingin lama lagi mengasah berkah bersamamu, Tapi bagaimanapun, aku harus segera luruh, Khusyu’ dalam sembahyangku.
Annuqayah, 2019
Biorgrafi Penulis:
Firmansyah Evangelia, nama pena dari Andre Yansyah , lahir di Pulau Giliyang , menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa komunitas di antaranya PERSI (Penyisir Sastra Iksabad ), LSA (Lesehan Sastra Annuqayah), Ngaji puisi, Mangsen puisi , Sanggar kotemang, poar ikstida. Beberapa karyanya pernah di muat di : Radar Madura, Nusantara News. Buku puisinya Duri-duri Bunga Mawar (FAM Publising 2019) saat ini sedang nyantri di PP Annuqayah daerah Lubangsa serta menjabat sebagai ketua Persi (Penyisir Sastra Iksabad) 2019-2020, pernah menjuarai lomba teater se- Jawa Timur di Surabaya.