KAHMI JAYA Sebut Myanmar tak Ingin Sudahi Kekerasan

Rohingya children

Seorang anak laki-laki berjalan di antara puing-puing setelah kebakaran menghancurkan tempat penampungan di sebuah kamp pengungsi Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine bagian barat dekat Sittwe. (Foto: Reuters/Thomson)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – KAHMI JAYA (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Jakarta Raya) menilai telah terjadi berulang-ulang aksi kekerasan dan pembantaian golongan minoritas Muslim dan etnis Rohingya di wilayah Provinsi Rakhine, Myanmar.

“Aksi kekerasan dan pembantaian tergolong tragedi kemanusiaan sadis dan keji, kekejaman jauh melampaui kebiadaban pernah terjadi di dunia,” kata Ketua KAHMI JAYA, Moh. Taufik, Jakarta, Minggu 3 September 2017.

Aksi kekerasan dan pembantaian minoritas umat Islam dan etnis Rohingya ini, kata Taufik, telah mengkoyak-koyak rasa kemanusiaan masyarakat dunia yang sedang berjuang menegakkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara.

“Aksi kekerasan dan pembantaian ini telah menelan korban jiwa penyiksaan dan pembantaian ribuan anak-anak dan balita juga  Genoside etnis minoritas. Tidak kurang 3.000 orang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh. Belakangan ini jumlah korban mencapai kurang lebih 800-an orang, termasuk perempuan dan anak-anak,” ungkap Taufik.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, sudah terbukti secara meyakinkan Myanmar tidak bersedia menghentikan aksi kekerasan,  pembantaian dan praktik Genosida etnis Rohingya.

“Myanmar telah terlibat langsung maupun tidak langsung melakukan aksi kekerasan dan pembantaian berkali-kali terhadap minoritas umat Islam dan etnis Rohingya. Myanmar juga telah melakukan politik pembiaran terjadinya aksi kekerasan dan pembantaian ini,” tegasnya.

Bahkan, tambah dia, Myanmar telah melakukan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity), dengan secara terang-terangan melakukan aksi kekerasan dan pembantaian etnis Rohingya di depan mata masyarakat internasional.

“Negara Myanmar telah melanggar Universal Declaration Of Human Right, 10 Desember 1948 dan dapat dituntut di depan Mahkamah Internasional, Den Haag Belanda,” tegas Taufik menyudahi.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version