NUSANTARANEWS.CO – Mantan Kepala PBB Kofi Annan mendesak Dewan Keamanan untuk mendorong ratusan ribu Muslim Rohingya yang diusir dalam sebuah operasi militer kembali ke Myanmar.
Annan, yang memimpin sebuah komisi penasihat untuk pemerintah Myanmar seperti dilaporkan kantor berita AFP mengatakan bahwa kekuatan dunia harus bekerja sama dengan pemimpin militer dan sipil negara Myanmar untuk mengakhiri krisis pengungsi.
Dewan Keamanan sedang mempertimbangan sebuah tindakan dan solusi untuk menindaklanjuti permintaan Annan. Namun, China dan Rusia yang merupakan pendukung junta militer Myanmar menjadi penghalang karena kedua negara tersebut mendukung langkah pemerintah Myanmar untuk tidak lagi menerima Rohingya hidup di Rakhine State.
Seperti diketahui, China dan Rusia berinvestasi besar di kawasan Rakhine yang kaya akan gas alam. Negara bagian yang terletak di pantai barat Myanmar itu kini sedang dibangun investasi besar-besaran, terutama China.
BACA JUGA: Kepentingan Cina di Balik Kekerasan Berdarah di Rakhine
“Saya berharap resolusi segera keluar untuk mendesak pemerintah benar-benar menciptakan kondisi yang memungkinkan para pengungsi untuk kembali dengan martabat dan rasa aman,” kata Annan.
“Mereka seharusnya tidak kembali lagi ke kamp, mereka harus dibantu untuk kembali bangun,” tambahnya.
Lebih dari 500 ribu orang, kebanyakan Rohingya, sejak akhir Agustus lalu menyeberang ke Bangladesh, melarikan diri dari operasi militer di Rakhine, Myanmar. PBB sendiri mengecam tindakan brutal ini dan menuding sebagai pembersihan etnis.
Pihak berwenang Myanmar mengatakan bahwa mereka membasmi gerilyawan Rohingya setelah serangan terhadap pos polisi pada akhir Agustus.
Isu kembalinya ROhingya ke Rakhine mendapat rintangan yang tak main-main. Pemerintah Myanmar bersikeras Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar sehingga dianggap tak berhak hidup di Rakhine.
Di sisi lain, sebuah laporan baru-baru ini oleh kantor hak asasi manusia PBB menuduh Myanmar berusaha mengusir Rohingya secara permanen, dengan menanam ranjau darat di perbatasan dengan Bangladesh.
“Masyarakat internasional sekarang mulai menekan militer,” kata Annan.
Dia menambahkan, saat ini perlu dilakukan perundingan antar militer untuk menyelesaikan persoalan ini, dengan tujuan menekan Myanmar untuk mengendalikan operasinya yang tak berperikemanusiaan.
Pada akhir Agustus, Annan mempresentasikan laporan akhir dari komisi penasehat di negara bagian Rakhine bahwa dia memimpin permintaan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
Laporan tersebut menyerukan pemberian kewarganegaraan dan hak-hak lainnya kepada orang-orang Rohingya, yang tanpa kewarganegaraan dan telah lama menghadapi diskriminasi di negara mayoritas Buddhis.
Kepala urusan politik utama PBB, Jeffrey Feltman, melakukan perjalanan ke Myanmar pada Jumat (13/10) untuk melakukan pembicaraan. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews