NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengadilan maupun Mahkamah Agung (MA) dengan pertimbangan adanya disharmonisasi antara pekerja dan penguasah dinilai telah memperlemah posisi pekerja dalam hubungan industrial.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (K-Sarbumusi) Syaiful Bahri Anshori menyatakan pertimbangan pemutusan hubungan kerja didasarkan pada hubungan disharmonisasi antara pengusaha dan pekerja jelas merugikan pekerja dan melanggar hak azazi manusia.
“Itu jelas melanggar UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan yang selama ini menjadi acuan peraturan perundang-undangan di Indonesia . Oleh karena itu Sarbumusi meminta pengadilan harus menolak alasan disharmonisi yang diputus PHK bukan dipekerjakan kembali,” ujar Syaiful dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Syaiful melanjutkan dari sisi regulasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan UU No.2 Tahun 2004 Tentang PPHI, pengusaha hanya boleh melakukan pemutusan hubungan kerja setelah mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selain itu juga, mediator selalu memutuskan Anjuran PHK dalam rapat mediasi dengan alasan disharmonisasi antara pekerja dan pengusaha dengan tidak melihat permasalahan dibalik phk sepihak yang dilakukan oleh pengusaha.
“Mediator selalu memberikan anjuran PHK dengan alasan disharmonisasi tanpa melihat persoalan dibalik PHK sepihak yang dilakukan oleh pengusaha. Ini jelas-jelas sudah melanggar aturan dan hak azazi manusia,” tuturnya.
Melihat kenyataan demikian, K-Sarbumusi meminta kepada pengawas ketenagakerjaan untuk membuat nota pelanggaran bila kejadian PHK sepihak dilakukan oleh pengusaha, sehingga tidak dilarikan ke perselisihan akan tetapi menjadi pelanggaran atas kontitusi dan perundang-undangan ketenagakerjaan.
“Meminta pengawas untuk melakukan pengawasan secara sustainable untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dinamis dan berkeadilan,” pungkasnya.
Sebagai Informasi dari 247 kasus di tahun 2017, terdapat 168 kasus PHK dengan melibatkan 826 orang yang diijinkan oleh MA. Sedangkan 9 kasus PHK ditolak oleh MA, dan sebanyak 305 orang diperintahkan untuk dipekerjakan kembali.
Selain kasus PHK sepihak, MA juga memutus 70 kasus perselisihan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu). 34 kasus yang melibatkan 147 orang diantaranya ditetapkan sebagai pekerja tetap dengan disertai pemberian uang pesangon. Sedangkan 25 kasus kontrak dinilai oleh MA tidak melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan kontraknya dianggap sah.
Pewarta: Syaefuddin A
Editor: Achmad S.