Politik

Jokowi Belum Terlambat untuk Menolak Revisi UU KPK

Presiden Jokowi saat Pidato Kemenangan Bertajuk Visi Indonesia di Sentul. (Foto Istimewa)
Presiden Jokowi saat Pidato Kemenangan Bertajuk Visi Indonesia di Sentul. (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur LP3ES Center for Media and Democracy, Wijayanto mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum terlambat untuk menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Revisi UU KPK.

“Posisi saya masih sama sejak awal tolak revisi UU KPK. Belum terlambat bagi Jokowi untuk menolaknya. Nanti Jokowi bisa mengeluarkan Perppu untuk menolak itu,” kata Wijayanto saat dihubungi redaksi, Minggu (15/9/2019).

Dia menambahkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) itu nantinya yang digunakan Presiden Jokowi untuk menganulir kalau RUU KPK itu sampai disahkan. Mengapa harus dianulir?

Wijayanto beralasan, karena substansi usulan revisi UU KPK sangat berpeluang melemahkan lembaga anti rasuah. Dalam dokumen draft RUU setebal 38 halaman itu, banyak sekali pasal ranjau yang berpotensi mengamputasi kewenangan KPK. Amputasi itu terjadi dalam setidaknya empat hal pokok.

“Berdasar RUU ini, pegiat KPK akan berubah status menjadi pegawai ASN yang kinerjanya akan berada di bawah perintah eksekutif (pasal 1). Lebih jauh, KPK akan harus bertanggung jawab kepada Presiden, DPR dan BPK (pasal 7). Dengan kata lain, KPK akan jadi subordinat dari institusi yang diawasinya yaitu eksekutif dan legislatif,” jelasnya.

Baca Juga:  HUT Dihadiri Gibran, SPSI Jatim Janji Sumbang 2,5 Juta Suara Prabowo Gibran

Kemudian kedua, dalam RUU tersebut, KPK juga akan diawasi oleh dewan pengawas yang dibentuk oleh DPR dan Presiden (pasal 6, 10, 11, 37 dan 69). Dewan pengawas ini harus dimintai ijin tertulis saat KPK mau melakukan penyadapan dan bila ijin tidak diberikan selama 2 x 24 jam, maka penyadapan itu dibatalkan (pasal 12).

“Dengan kata lain, kewenangan penyadapan itu akan segera jadi masa lalu,” ujarnya.

Ketiga lanjut dia, KPK harus bekerjasama dengan institusi peradilan lain: kepolisian dan kejaksaan (pasal 43 dan 45) dalam melakukan penyidikan kasus korupsi.

“Pertanyaannya: tidakkah dulu kita membentuk KPK justru karena tidak lagi percaya pada sistem peradilan yang sudah ada?” tandasnya.

Pewarta: Romadhon
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,112