NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dalam rilis World Health Organization (WHO) tahun 2016 lalu, kota Jakarta ditunjuk sebagai salah satu kota terburuk untuk kualitas udara di Asia Tenggara. Begitupun Greenpeace Indonesia juga melaporkan pada semester pertama 2016, tingkat polusi udara di Jakarta masuk pada level mengkhawatirkan. Yakni berada di level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan WHO.
Buruknya kualitas udara di Jakarta dapat terlihat dari Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang angkanya lebih dari 100. Seperti diketahui, ISPU merupakan laporan kualitas udara kepada masyarakat yang menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam/hari/bulan.
Untuk mengurangi polusi udara itu, Indonesia khususnya kota Jakarta saat ini sesungguhnya tengah darurat dibangun dinding lumut massal. Penting untuk diketahui, dinding lumut mampu berfungsi sebagai penetralisir polusi udara. Dan ini sangat tepat untuk Ibukota Jakarta yang tengah masuk dalam zona bahaya.
Belajar dari kota Stuttgart, Jerman, untuk membersihkan debu-debu polutan halus di kota tersebut, pemerintah lokal membangun dinding lumut di sepanjang perlintasan jalan raya. Stuttgart merupakan salah satu kota di Jerman yang paling banyak menyumbang polusi kabut terburuk. Bahkan konsentrasi partikel halus di udara lebih tinggi dari 50 mikrogram per meter kubik di 30 hari dalam dua bulan pertama 2017.
Begitupun dengan di Jakarta, dinding lumut sesungguhnya penting untuk mengurangi dampak bahaya polusi udara yang semakin sulit dikendalikan. Lumut mampu mendeteksi tingkat polusi udara dengan baik di suatu tempat.
Ini dikarenakan tumbuhan kecil yang termasuk dalam keluarga Bryophytina ini mampu menyerap nutrisi dari hujan dan udara, sehingga bisa “memakan” polusi udara. Selain itu, lumut juga bisa mendeteksi kualitas udara. Semakin banyak lumut di suatu tempat maka semakin bagus udara di tempat itu.
Pewarta/Editor: Romandhon