Ekonomi

ISRI: Pemerintah Harus Punya Parameter Baru Angka Kemiskinan

Ketua II Bidang Ekonomi Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI) Robby Alexander Sirait. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/ISRI)
Ketua II Bidang Ekonomi Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI) Robby Alexander Sirait. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/ISRI)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua II Bidang Ekonomi Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPN ISRI) Robby Alexander Sirait menilai tidak salah jika pemerintah diapresiasi atas capaian turunnya angka kemiskinan. Dimana hal tersebut bisa menjadi salah satu indikator kinerja pemerintah. Terbukti, persintase penduduk misin per Maret 2018 versi BPS (Badan Pusat Statistik) turun menjadi 9,82 persen.

“Terendah sepanjang sejarah dalam berbagai media pemberitaan. Akan tetapi, yang jadi soal dan tantangan saat ini adalah apakah parameter yang digunakan dalam mengukur kemiskinan tersebut sudah benar-benar mampu secara tepat untuk memotret kemiskinan yang sesungguhnya. Atau sekurang-kurangnya sudah sangat dekat dengan realita ‘kemiskinan’ yang sebenarnya,” kata Roby dalam keterangan resmi, Senin (30/7/2018).

Roby mencoba menjelaskan, paramater yang digunakan yakni Garis Kemiskinan (GK) yang berarti penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Per maret 2018, nominal GK sebesar Rp401.220 per kapita per bulan. Pertanyaan mendasarnya adalah “dengan parameter pengeluaran Rp401.220 per orang per bulan, tepatkah angka ini dijadikan sebagai ukuran batas kemiskinan?.

“Kalau mau jujur, angka GK tersebut masih tidak tepat dan masih jauh untuk jadi acuan kemiskinan. Ada beberapa hal yang mendasari parameter yang digunakan masih tepat dan masih jauh,” ujarnya.

Baca Juga:  Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi UMKM, Pemkab Sumenep Gelar Bazar Takjil Ramadan 2024

Pertama, sebut Robby, jika membandingkan nilai GK tersebut dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per bulan orang Indonesia, maka rata-rata konsumsi beras per orang per bulan sebesar 6 kg atau setara 200 gram per hari. Sedangkan GK hanya mampu membeli 1-1,5 kg per bulan atau 34-53 gram per hari. Artinya, kata dia, seluruh nilai GK tersebut hanya mampu membiayai (sedikit) kebutuhan beras.

“Tanpa sayur, buah dan lauk pauk. Dengan demikian, terlihat sangat jelas bahwa nilai GK sangat kecil dan bukanlah ukuran yang tepat dalam memotret kemiskinan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Kedua, perkiraan penghasilan minimal seorang kepala rumah tangga (RT) agar sekeluarga tidak dikatakan orang miskin. Saat ini jumlah orang per rumah tangga sekitar 4 orang dan kita asumsikan hanya kepala rumah tangga yang bekerja. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka seorang (laki-laki) kepala rumah tangga harus berpenghasilan seminimal-minimalnya Rp1.604.880 per bulan atau Rp53.496 per hari. Besaran ini relatif sama dengan rata-rata upah buruh tani harian per maret 2018 yang sebesar Rp51.598 per hari.

“Artinya, rata-rata buruh tani nyaris tidak miskin. Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin,” cetusnya.

Ketiga, bandingkan angka Rp1.604.880 per bulan tadi dengan rata-rata upah industri pengolahan yang sebesar Rp2.174.000/bulan per menurut data BPS per desember 2014. “Dengan perbandingan data ini, seolah-olah kita dapat menyimpulkan bahwa rata-rata semua buruh di industri pengolahan bukan masyarakat miskin (upahnya sudah jauh diatas garis kemiskinan untuk sekeluarga). Apa iya?, rasanya sangat tidak mungkin. Yang namanya (mayoritas) buruh, saat ini pasti bagian dari kelompok masyarakat miskin,” jelasnya.

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses

Terakhir, lanjut Robby, mari kita bandingkan antara angka GK dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut BPS, KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. KHL juga menjadi dasar dalam penetapan Upah Minimum. “Kebutuhan hidup layak”, ini yang perlu di bold. KHL per 2015 sebesar Rp1.813.396/bulan. Ini untuk lajang dan batas minimum hidup layak secara fisik, belum non fisik-psikologis dan lain sebagainya. Bayangkan berapa KHL untuk pekerja kepala rumah tangga, agar hidupnya dan keluarga dikatakan hidup layak. Sudah pasti KHL untuk pekerja kepala tangga jauh lebih besar dari Rp2 – 2,5 juta/bulan.

“Sedangkan menurut GK, seorang kepala rumah tangga (pendapatan tunggal) cukup berpenghasilan Rp1.604.880 agar sekeluarga tidak dikatakan miskin. Padahal KHL lajang saja sudah Rp1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya,” urai dia.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Dari keempat penjelasan diatas, Robby menjelaskan, dapat disimpulkan garis kemiskinan (Rp401.220 per kapita per bulan) masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya jangan berpuas diri dengan angka kemiskinan versi GK yang dirilis BPS tersebut dan sebaiknya Pemerintah dan BPS sudah harus menyusun parameter baru yang lebih tepat dan mantep dalam memotret kemiskinan yang seutuhnya. Bank dunia saja sudah menggunakan pengeluaran 3,2 USD dan 5,5 USD per hari (setara Rp44.000 dan Rp77.000 per bulan), sebagai paramater kemiskinan.

“Parameter baru itulah yang nantinya digunakan untuk mengukur capaian angka kemiskinan negara kita yang sudah benar-benar sesuai kenyataan/kebutuhan hidup layak yang sesunggihnya. Paramater baru tersebut juga nantinya menjadi ukuran kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, agar tidak lagi angka-angka semu seperti saat ini,” tegasnya.

“Selain itu, Pemerintah juga harus benar-benar memastikan penurunan angka kemiskinan bukan karena program pemerintah yang berdurasi pendek dan tidak sustain. Tetapi harus melalui program pemerintah yang berdimensi jangka panjang dan sustain,” kata Robby.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,155