Ironis! Negara Maritim Impor Garam

Petani garam. (Foto: IOs/Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Bermacam ragam alasan pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa impor garam adalah kebijakan urgen dan sangat penting. Meski tak seharusnya mengimpor garam, pemerintah kokoh dengan keputusannya. Padahal pemerintah sendiri yang selama ini selalu berteriak lantang kalau Indonesia negara maritim dengan potensi laut yang tak terbatas sebagai jaminan janji-janji kesejahteraan.

Sebagai negara maritim, yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, impor garam sulit dinalar. Pertanyaan, mengapa harus impor menjadi wajib dijelaskan secara masuk akal oleh pemerintah.

Menurut Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusdianto Samawa pertanyaan itu tergantung sikap pejabat negara dan kadar nasionalisme mereka. Apabila memenuhi kebutuhan rakyat dengan impor maka kebanggaan kita terhadap garam nasional dipastikan tidak ada.

Pola importir garam ini merupakan sistem yang telah lama digeluti oleh para kartel asing yang bekerjasama dengan pejabat, yang berperan sebagai penyalur alias makelar.

Baca: Indonesia Impor Pangan dari 40 Negara

Alasan paling mendasar untuk impor adalah cuaca ekstrem yang menyebabkan kelangkaan garam. Padahal tidak seperti itu yang terjadi. Bukan karena cuaca. Namun, keterbatasan regulasi dan kontrol pemerintah untuk bersikap tegas terhadap para kartel pebisnis garam yang selama periode empat bulan belakangan ini mereka menampung dan menumpuknya.

Pemerintah terkadang juga latah. Dengan mudahnya, menyalahkan alam karena matahari kurang sahabat dan hujan. Hal ini bukanlah suatu alasan yang tepat bagi pemerintah, apalagi sampai menyalahkan alam.

Harusnya, pemerintah memperbaiki pola distribusi garam baik ditingkat petani maupun pasar. Pola distribusi ini yang sering membuat krisis garam karena pemerintah melalui KKP sendiri sering saling kontak dengan kartel garam.

Kedua, infrastruktur pengelolaan garam nasional belum memadai. Dari sejak 1942 hingga 1995, kondisi petani garam sangat susah untuk memodernisasi alat produksi garam maupun tempat penampungan garam di petani tambak.

Kalau pemerintah komitmen mengembangkan pengelolaan dan memusatkan kerja pelayanan untuk bantuan pembangunan infrastruktur garam, maka harus ada alokasi infrastruktur garam nasional yang memadai. Misalnya pembangunan tempat penampungan garam, alat produksi, mesin penyedot air atau penimba air tawar.

Baca: Ketahan Pangan Indonesia Tergantung Impor

Dulu, para orang tua mengajarkan betapa menjadi petani garam harus ekstra sabar. Sebab, selain alat kerja masih relatif seadanya tetapi juga pola produksi membutuhkan waktu tak singkat. Produksi garam itu butuh waktu lama. Itupun belum tentu hasilnya bagus, karena memang kadang tergantung perkembangan iklim. Namun sebetulnya produksi garam sederhana, cukup dengan cara menguapkan air laut.

Baiknya, pemerintah terlebih dahulu fokus memperbaiki infrastruktur garam nasional, perpendek pola distribusi yang tidak lagi meliabatkan kartel asing. Sehingga, petani garam nasional bisa memiliki kemandirian yang kuat dan bertahan serta stok garam selalu tersedia.

Ketiga, berdasarkan pantauan, untuk garam satu bungkus isi 10 kotak garam, semula harga Rp 2.500 kini naik menjadi Rp 7.000. Sedangkan untuk garam dapur, yang semula hanya seharga Rp 10.000 kini melonjak hingga Rp 25.000,-.

Kegagalan garam pada 2016 dan 2017 menjadi kambing hitam yang dipersalahkan pemerintah. Kelangkaan garam di sebuah negeri yang memiliki matahari, laut, dan garis pantai lebih banyak dibanding di sebagian besar negara dunia tentu amat mencengangkan dan agak sulit dinalar akal sehat. Karena itu, pasti ada yang tidak beres ihwal kebijakan pengelolaan komoditas yang proses produksinya sungguh sederhana ini.

Bahkan krisis ini seharusnya bisa diantisipasi jauh hari sebelumnya. Tanda akan terjadi darurat garam sudah terlihat jauh-jauh hari. Misalnya, sejak lebaran, harga garam atau jerut nyaris tak pernah turun lagi. Di tingkat konsumen, harga melambung hingga empat kali lipat.

Kebutuhan garam nasional setiap tahun sebesar 4,3 juta ton, yang mencakup garam industri dengan kadar Natrium Klorida (NaCl) di atas 97 persen dan garam konsumsi dengan kadar NaCl di bawahnya.

Baca: Daftar Impor 29 Kebutuhan Pangan Pokok

Sebanyak 1,8 juta ton di antaranya dipasok dari dalam negeri. Kini, kebanyakan yang langka adalah garam konsumsi. Di tambak milik PT Garam di Sumenep, misalnya, produksi garam pada Mei-Juni hanya 50 ton, anjlok dibanding angka biasanya yang mencapai 2.500 ton. Produksi garam konsumsi tahun 2016 sebesar 144.000 ton tak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Sebenarnya, impor garam tidak tergantung pada NaCl-nya. Metode ini sebetulnya sudah harus diketahui sebelum impor dilakukan. Yang jadi masalah adalah pemerintah tidak mendahulukan kepentingan rakyat petani tambak garam. Padahal, mestinya terlebih dahulu melakukan distribusi kepada seluruh pasar tradisional sebagai pusat kebutuhan rakyat. Baca: Indonesia Menjadi Negara Eksportir Babi Terbesar ke Singapura

Pemerintah juga harus lebih keras memotong mata rantai kartel garam yang selama ini menjadi penyakit bagi petani garam. Mata rantai kartel inilah yang membuat banyak daerah penghasil garam anjlok.

Itu pun kalau adanya kemauan untuk melakukan perubahan. Yakni, merubah agar garam tak lagi menjadi lahan basah dan bahan bancakan para kartel.
Harus perkuat petani garam dengan kebijakan atau regulasi pemberdayaan dan pembangunan yang sustainable. Salah satu yang paling penting dibangun adalah alat distribusi garam, akses jalan, gudang tempat penampungan garam, serta alat-alat produksi garam. Semua itu harus diperbaiki, selain menata sistem distribusi dan alur garam.

Jangan sampai pemerintah berniat mengimpor garam, lalu improvisasi kebijakan dengan menyetir kartel untuk membeli, menampung dan mendistribusi serta merubah kadar NaCl-nya. Masukan petani garam bagi pemerintah harus segera dilaksanakan. Termasuk menghadirkan metode teknologi yang tinggi agar garam nasional dapat dipenuhi.

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version