ArtikelHankam

Ini Alasan Mengapa Kita Wajib Bela Negara (Bagian I)

Direktur CISS, M. Dahrin La Ode (Foto Istimewa)
Direktur CISS, M. Dahrin La Ode (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Hasil penelitian politik etnisistas, dipastikan bahwa Pribumi penguasa NKRI merupakan bagian logika kausalitas sederhana namun memuat makna politik nasional paling dasar yang tidak akan pernah dimiliki oleh non pribumi. Logika kausalitas ini dimulai dari sebab pribumi pendiri NKRI yang mengakibatkan pribumi pemilik NKRI. Dengan perkataan lain bahwa sebab NKRI didirikan oleh pribumi, maka NKRI dimiliki oleh pribumi, untuk selanjutnya NKRI dikuasai oleh pribumi nusanatara Indonesia. Pribumi sebagai penguasa NKRI ini, menjadi hak dasar politik pribumi terhadap NKRI.

Hak dasar politiknya ini, adalah dasar pribumi nusantara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan NKRI yang tidak boleh  ticabut dan tidak boleh dibagikan kepada bangsa lainnya atau non pribumi. Meskipun telah menjadi warga negara Indonesia seperti dimaksud oleh J.J. Rousseaue. Dalam kasus ini adalah kelompok etnis Cina Indonesia (ECI) tidak berhak atas kedaulatan NKRI karena ECI tidak segaris nenek moyang dengan pribumi nusantara Indonesia.

Objek kekuasaan pribumi nusantara Indonesia terhadap NKRI adalah yang masuk dalam aspek-aspek Asta Gatra Nasional yang terbagi menjadi dua bagian yaki natural resourses (Tri Gatra Nasional) dan social resourses (Ipoleksosbudhankamnas). Karena itu adalah ajaran teori ketahanan nasional, maka semua aspek-aspek dalam natural resourses dan aspek-aspek social resourses semuanya menjadi objek kekuasaan pribumi nusantara Indonesia terhadap NKRI. Selanjudnya eksistensi kedaulatan pribumi nusantara Indonesia terhadap NKRI dapat dipahami secara mudah pada diagram sebagai berikut ini.

Diagram 1
Pribumi Nusantara Indonesia Mendirikan NKRI
Dalam Empat Fase

Pribumi nusantara Indonesia tidak saja sebagai penguasa NKRI, melainkan juga menjadi pembela negara. Adapun metode pribumi nusantara Indonesia  melakukan bela negara Indonesia,  menggunakan soft power yakni meningkatkan semangat nasionalisme untuk menangkal segala bentuk ancaman nasional yang juga bersifat soft power. Ancaman soft power ini antara lain serangan pelemahan nasionalisme, serangan narkoba dari ECI dan Cina Komunis,  serangan pelemahan ekonomi pribumi nusantara Indonesia dari ECI dan Cina Komunis.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Teori kedaulatan negara merupakan kodrat alam. Demikian pula kekuasaan tertinggi yang ada pada pemimpin NKRI oleh pribumi nusantara Indonesia. Kedaulatan itu sudah ada sejak lahirnya suatu negara pada fase Genootschap atau Genossenschaft. Jadi jelaslah, bahwa negara merupakan sumber kedaulatan bagi penguasa NKRI oleh pribumi nusantara Indonesia secara absolut dalam makna kolektif (seluruh pribumi nusantara Indonesia). Hukum itu mengikat seluruh pribumi nusantara Indonesia, karena yang demikian dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat alam mempunyai kekuasaan mutlak. Penganjur teori ini di antaranya Paul Labban dan George Jellinek.

Sehubungan dengan kekuasaan absolut kolektif pribumi nusantara Indonesia itulah maka seluruh pribumi Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan bela negara. Rakyat Indonesia dikenakan wajib bela negara karena untuk mengamankan NKRI yang mereka dirikan sendiri; karena NKRI adalah milik mereka sendiri, dan karena NKRI adalah kekuasaan mereka sendiri. Dalam hal kewajiban bela negara bukan saja berlaku bagi pribumi nusantara Indonesia, melainkan juga berlaku bagi non pribumi yang antara lain dan memang malas melakukan bela negara, adalah kelompok ECI.

Dari situ ditemukan relevansi kuat kebijakan Menteri Pertahanan RI Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu untuk merekrut 100 juta kader bela negara mulai tahun 2015-2025. Berhubung sejak tanggal 21 Mei 1998, hingga saat ini ancaman negara yang bersifat soft power meningkat tetapi di lain sisi pada saat yang sama tingkat nasionalisme Indonesia ternyata menurun. Penurunan nasionalisme itu diperoleh  pada satu survey nasionalisme pada 111 negara. Ternyata nasionalisme Indonesia berada pada peringkat 96 karena tingkat nasionalismenya menurun.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Latar belakang menurunnya nasionalisme Indonesia itu setelah dilakukan penelitian kualitatif diperoleh jawaban kualitatif yang pasti bahwa karena faktor substantif yang diabaikan oleh pribumi. Faktor yang diabaikan oleh pribumi itu adalah pribumi nusantara indonesia tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa pribumi pendiri NKRI—pribumi pemilik NKRI—pribumi penguasa NKRI. Simpulan itu ditemukan setelah melakukan ulang teori kelompok etnis Smith, Handelman, Schermerhorn, dan teori gen dari Gumplowizt.

Teori-teori dari mereka itu menjadi tool of analysis untuk membedah permasalahan penelitian yang sedang diteliti.  Penjelasan tentang adanya faktor pembeda secara empirisme bahwa kelompok ECI bukan kelompok etnis Melayu;  kelompok etnis Melayu bukan kelompok etnis Dayak; kelompok etnis Dayak  bukan kelompok ECI, adalah objek kategori etnis, jaringan etnis, asosiasi etnis, dan masyarakat etnis, Handelman. Penjelasan yang menyatakan nenek moyang dan gen kelompok ECI, kelompok etnis Melayu, dan kelompok etnis Dayak berbeda, adalah objek kesamaan nenek moyangdari Schemerhorn dan objek ajaran banyak gen dari Gumplowizt. Teori-teori itulah yang menambah keyakinan untuk mengungkap bahwa teori trilogi pribumisme adalah valid secara ilmu, valid menurut hukum, valid secara moral dan adil secara sosial.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Oleh karena itu maka trilogi pribumisme menjadi tuntunan terbaru dan berlaku secara universal untuk menjadi metode resolusi konflik pribumi dengan non pribumi. Kecuali empat negara koloni Inggris: Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand. Sebagaimana telah diketahui bahwa keempat negara koloni Inggris itu didirikan oleh non pribumi Inggris di wilayah daratan pribumi Indian di Amerika Serikat—pribumi Canadian di Canada—pribumi Aborigin di Australia—dan pribumi Mauri di New Zealand.

Realitas sosial politik itu sekaligus membedakan dengan tegas adanya istilah kolonial yang berlanjud dengan kolonial yang berhenti. Kolonial berlanjut diindikasikan bentuk penjajahan formal sedang berlangsung dan Pribuminya tidak boleh menduduki posisi strategis dalam jalannya pemerintahan pada negara jajahan.

Sedangkan koloni berhenti diindikasikan adanya negara baru yang berdiri dan terbebas dari campur tangan politik oleh bangsa kolonialis. Untuk itulah Indonesia kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya dari bangsa kolonialis serta pribuminya memasuki tahap awal dalam politik seiring dengan kemerdekaan itu menjadi penguasa juga.

Mereka boleh menduduki posisi strategis dalam jalannya pemerintahan dengan melalui suatu proses politik yang demokratis. Semuanya berlaku di Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, meskipun kadar kemampuan berpolitik warga pribumi Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand masih sangat rendah jika dibandingkan dengan bangsa pribumi kelompok etnis Anglosaxon  yang mendirikan negara-negara tersebut.

Oleh: M. Dahrin La Ode, Penulis adalah Sekjen DPP Forum Bela Negara RI

BERSAMBUNG ……….

Related Posts

1 of 3,067