NUSANTARANEWS.CO – Realitas sosial politik itu sekaligus membedakan dengan tegas adanya istilah kolonial yang berlanjut dengan kolonial yang berhenti. Kolonial berlanjut diindikasikan bentuk penjajahan formal sedang berlangsung dan pribuminya tidak boleh menduduki posisi strategis dalam jalannya pemerintahan pada negara jajahan. Makanya kita dituntut untuk bela negara.
Sedangkan koloni berhenti diindikasikan adanya negara baru yang berdiri dan terbebas dari campur tangan politik oleh bangsa kolonialis. Dalam pada itu negara ini mendeklarasikan pula kemerdekaannya dari bangsa kolonialis serta pribuminya memasuki tahap awal dalam politik seiring dengan kemerdekaan itu menjadi penguasa juga.
Mereka boleh menduduki posisi strategis dalam jalannya pemerintahan dengan melalui suatu proses politik yang demokratis. Semuanya berlaku di Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, meskipun kadar kemampuan berpolitik warga pribumi Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand masih sangat rendah jika dibandingkan dengan bangsa pribumi kelompok etnis Anglosaxon yang mendirikan negara-negara tersebut.
Dengan rujukan teori trilogi pribumisme, dapat diketahui pula bahwa makna pribumi bisa dikalsifikasikan dalam kemajuan peradaban menurut waktu dan ruang. Uraian tentang perihal itu dapat dilihat sebagai berikut ini.
Klasifikasi kemajuan peradaban pribumi menurut waktu dan ruang di atas, memang meloncat-loncat. Karena peradaban pribumi itu ditulis tidak berdasarkan data penelitian dari tahap pertama ke tahap berikutnya. Karena itu masih diperlukan penelitian kualitatif (grounded research) lebih lanjud guna memastikan letak pergeseran klasifikasi satu ke klasifikasi berikutnya pada grafik tersebut di atas.
Namun yang tak bisa dibantah bahwa lima tahapan kemajuan peradaban pribumi pada grafik di atas pernah, telah, dan sedang dialami oleh manusia secara universal dewasa ini.
Kelima klasifikasi kemajuan peradaban pribumi itu ialah primitif—masa tradisional—masa transisi—modern—post modern yang juga berlaku universal. Jadi dalam tulisan pada bagian ini, grafik di atas hanya bertujuan untuk memperlihatkan urutan tahapan kemajuan peradaban Pribumi secara universal.
Karena semua tahapan klasifikasi kemajuan peradaban pribumi tersebut berlaku universal, maka bisa juga disebut dengan universalitas trilogi pribumisme menurut paradigma status sosial politik etnisitas pribumi. Selanjutnya pemahaman berdasarkan fakta pengalaman hidup pribumi itu, bisa menjadi resolusi konflik antara pribumi dengan non pribumi secara universal pula. Mengapa? Karena terjadinya saling memahami status sosial politik antara pribumi sebagai penguasa pada tiap-tiap negara di seluruh dunia, dengan status sosial politik non pribumi sebagai pihak yang dikuasai pada tiap-tiap negara di seluruh dunia, maka kata sepakat dapat dicapai.
Dalam pada itu, juga terbentuk keyakinan sosial politik yang berlaku secara universal, atau berlaku secara universalitas akibat keterkaitan satu sama lainnya. Sekali lagi bahwa secara substantif dalam perspektif politik etnisitas, bahwa hubungan politik pribumi dengan non pribumi ialah universalitas trilogi pribumisme.
Urutan tahapan capaian kemajuan peradaban pribumi pada grafik di atas, jelas menunjukkan kesalahan atau paling tidak kelemahan menyolok Inpres Nomor 26 tahun 1998 tentang larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi oleh Presiden Ketiga Indonesia Prof. Dr. B.J. Habibie. Titik kesalahan atau kelemahan menyolok itu persis terletak pada pengingkaran Pemerintahan Presiden Habibie terhadap kekuatan politik Pribumi sejak tahap primitif hingga pada tahapan post modern dewasa ini.
Inpres itu memanjakkan non pribumi, pada khususnya kelompok ECI dan menekan Pribumi yang semestinya menjadi pihak yang dimanjakkan oleh pemerintahan semua era di Indonesia. Kini benar-benar ditemukan bahwa tidak ada pemerintah di dunia yang pernah mengambil kebijakan publik yang melemahkan Pribuminya seperti itu.
Mungkin pejabat pemerintahan di Indonesia khususnya pada era Habibie mengira orang yang telah mencapai tahap peradaban post modern itu bukan lagi pribumi di NKRI. Jika ini benar, maka para pejabat di era Habibie benar-benar melakukan kesalahan logika kausalitas sederhana dimaksud di atas yakni A maka B; B maka C; C maka D; D maka E. Jadi A maka E.
Oleh karena itu, maka Inpres Nomor 26 tahun 1998 itu harus dicabut karena salah menurut logika kausalitas sederhana, salah menurut politik etnisitas, salah secara ilmu, tidak valid menurut hukum, salah secara moral dan tidak adil secara sosial. Kesalahan terakhir ini harus segera dibetulkan berhubung memberikan dua implikasi politik etnisitas yang berat yakni pertama, pengingkaran atas hak dan kekuatan politik Pribumi yang memberikan kontribusi signifikan pada kekuatan politik nasional.
Kedua, mengarahkan Indonesia memasuki negara sebagai koloni bangsa-bangsa di dunia yang berlindung pada kekuatan issue demokrasi, HAM, dan diskriminasi. Jika kelak kekeliruan aplikasi logika kausalitas sederhana itu telah dibetulkan, kemudian kelompok ECI menolak atau merasa keberatan, pribumi bisa dengan ringan dan mudah mempersilahkan kepada kelompok ECI untuk memilih negara lain dan keluar seluruhnya dari Indonesia. Mengapa pribumi sebagai pendiri NKRI; pribumi sebagai pemilik NKRI; pribumi sebagai penguasa NKRI; harus tundak kepada non pribumi ECI? Itu adalah selemah-lemah politik etnisitas yang pernah terjadi di dunia, yang tidak boleh dikembangkan di Indonesia untuk sekarang dan masa-masa yang akan datang.
Trilogi pribumisme sebagai resolusi konflik antara pribumi dengan non pribumi khususnya dengan kelomok ECI sebagaimana telah diulas secara luas dan secara mendalam di atas, memang dapat disebut aksioma. Namun ternyata posisi aksioma saja masih tidak cukup, berhubung titik awalnya masih tidak tegas secara konkrit.
Oleh karenanya ditentukan titik awal memulai resolusi konflik antara pribumi dengan non pribumi khususnya kelompk ECI, harus dimulai dari pembangunan aspek ekonomi pribumi nusantara Indonesia. Tentang pilihan ilmiah titik awal resolusi konflik itu ternyata sudah dirumuskan juga oleh Junus Jahya, seorang warga kelompok ECI Muslim pejuang pembauran pribumi-non pribumi kelompok ECI di Indonesia. Junus Jahya merumuskannya sebagai berikut ini:
Memang, jika pribumi ekonomi kuat, otomatis non pri mau berbaur. Dan bagi pribumi yang ekonominya kuat dan merasa tuan di rumahnya sendiri, tidak ada masalah sama sekali. Tapi, selama mereka belum merasa menjadi tuan di rumah sendiri, masalah yang dihadapi sulit dipecahkan. Mengapa? Karena ini masalah psikologis. Karenanya saya berpendapat, pri non pri, bahu membahu agar pribumi menjadi kuat.
Non pri harus punya jiwa pribumi, sedang pribumi harus lebih dalam menjiwai kepribumiannya. Saya kira, pihak pengusaha kuat (apakah itu pri atau pon pri) harus membantu pengusaha kecil (anggota HIPPI, misalnya). Sebab, kalau anggota himpunan ini kuat, maka soal kesenjangan menjadi hilang. Kalau ada pengusaha kuat yang tidak berupaya mengangkat mereka, maka dia bukan nasionalis. Dia bukan patriot!
Pemikiran politik etnisitas Junus Jahya di atas dalam rangka mencapai pembauran yang adil antara pribumi dengan non pribumi menekankan kekuatan ekonomi pribumi nusantara Indonesia untuk ditingkatkan. Dengan demikian maka masalah kesenjangan yang berakibat kelabilan relasi sosial politik antara pribumi dengan non pribumi selama ini dapat diselesaikan. Dengan begitu maka pribumi akan menjadi tuan di rumah sendiri atau menjadi tuan di negeri sendiri.
Namun faktanya di era reformasi ketika pribumi merasa jengkel terhadap realitas sosial bahwa hingga kemerdekaan 72 tahun pribumi belum menjadi tuan di negeri sendiri. Ketika kesenjangan ekonomi itu dituntut oleh pribumi, pemerintahan Jokowi serta merta menerbitkan regulasi ujaran kebencian.
Oleh karena adanya regulasi seperti itu, yang diuntungkan adalah kelompok ECI yang terus melaju dengan kapitalismenya. Sementara pribumi yang seharusnya penguasa kapital yang melaju karena NKRI adalah miliknya atau rumahnya dalam istilah Junus Jahya, terposisikan oleh Pemerintahan Jokowi dan kelompok ECI pada posisi ketidakadilan sosial.
Sikap politik pemerintahan Jokowi seperti itu jelas merupakan predikat inkonsistensi terhadap empat konsensus dasar nasional yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Akibat terburuknya pribumi nusantara Indonesia jadi pekerja budak di negeri sendiripun sudah sukar karena para pekerja budak sudah didatangkan Jokowi dari daratan Cina Komunis.
Dengan telah ditemukan faktor kekeliruan Pemerintahan Jokowi yang mendasari akar masalah ketidak adilan sosial antara pribumi nusantara Indonesia dengan kelompok ECI sebagai keturunan imigran Cina di Indonesia, maka trilogi pribumisme sebagai titik resolusi konflik harus dilaksanakan. Selain itu juga dapat ditegaskan bahwa trilogi pribumisme adalah instrumen ilmiah dalam praktek politik untuk menentukan atau mengukur seseorang, kelompok, ormas, partai politik, dan kabinet bertindak nasionalis atau tidak.
Jika kebijakannya menguntungkan pribumi nusantara Indonesia, maka nilai politisnya dia nasionalis. Namun bila menetapkan kebijakan publik yang menguntungkan non pribumi ECI, dalam rujukan Trilogi Pribumisme dan politik etnisitas, maka pejabat atau Presiden itu tidak nasionalis.
Sebagai kasusnya dewasa ini Jokowi kerap kali menetapkan kebijakan publik yang tidak nasionalis karena kerap menguntungkan non pribumi ECI dan Cina Komunis. Kasus pekerja budak Cina Komunis, Ahok, dan Setya Novanto bukti kekeliruan kebijakan politik yang mendegradasi nasionalisme Indonesia atau nasionalisme pribumi nusantara Indonesia. Padahal wajib bela negara lho!
Oleh: M. Dahrin La Ode, Penulis adalah Sekjen DPP Forum Bela Negara RI