NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Disampaikan Minhajul Abidin, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Humaniora Park saat diskusi rutinan Departemen P2SDK, Jum’at malam (10/08). Minha menyatakan bahwa kebijakan dari Muhadjir Effendy Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dirasa sangat Jawa Sentris. Sehingga, keputusan menteri kali ini tidak mempertimbangkan dampak yang terjadi di daerah lain.
“Misalnya di daerah Timur. Banyak guru-guru di sana yang rumahnya lumayan jauh dari sekolah tempat ia mengajar. Kalau pulangnya sampai sore bagaimana?. Fakta seperti ini biasanya yang tidak terekspose media dan tidak terpikirkan oleh pemerintah,” Jelas Minha, Mahasiswa Psikologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga.
Sementara itu, menurut Ghozali Nasrul Arif, diskusi rutinan malam Jum’at kali ini sengaja mengkaji tentang kebijakan FDS. Menurutnya, banyak pertimbangan yang belum matang, sehingga kebijakan yang diputuskan oleh Peraturan Menteri Pendidikan No 23 tahun 2017 memang harus dikaji ulang. Kebijakan penerapan adanya Full Day School yang diharapkan mampu memperbaiki sistem pendidikan dengan menumbuhkan karakter nyatanya bias kota.
“Saya rasa, kebijakan ini harus dikaji ulang. Karena justru adanya kebijakan ini banyak pihak yang dirugikan baik langsung maupun tidak langsung. Padahal, fungsi dari kebijakan pemerintah ialah untuk kemaslahatan umat. Kalau banyak yang dirugikan, ya pemerintah harus bijak untuk menyikapi ini dan mendengar aspirasi masyarakat,” jelas Ghozali selaku ketua Rayon PMII Humaniora Park saat ditemui usai diskusi.
Beberapa kerugian akibat kebijakan FDS menurutnya antara lain; Pertama, keputusan FDS sangat sepihak. Sehingga, adanya pemerataan antara sistem pendidikan di kota dan di desa. Padahal, secara sosiologis, keadaan di kota dengan di desa sangatlah berbeda dan tidak bisa disamakan.. Kedua, FDS tidak cocok diterapkan di Indonesia karena dalam segi insfrastruktur belum memadai. Sehingga, kebijakan ini terlihat sangat dipaksakan dan merugikan beberapa pihak.
Ketiga, kebijakan FDS sangat merugikan adanya Madrasah Diniyah (Madin) sebagai salah satu wadah untuk belajar agama dengan baik. Bahkan salama ini, Madin berperan di garda depan untuk membentengi anak-anak dari isu-isu Radikalisme. Madin juga merupakan wadah keilmuwan yang menanamkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Di dalamnya mencakup pendidikan nasionalisme pada anak-anak. Kalau FDS diterapkan (dalam hal ini siswa harus berada di sekolah sampai sore) maka waktu untuk belajar di Madin sudah tidak ada lagi. Padahal Madin merupakan sistem pendidikan agama yang diwariskan oleh para ulama.
“Seharusnya kita jaga dengan baik. Jangan malah diganti dengan FDS yang jelas-jelas pendidikan karakternya belum jelas seperti apa. Sedangkan Madin, sudah jelas, mereka berperan sebagai wadah pendidikan untuk menguatkan pendidikan agama terhadap anak-anak. Ya, kalau menurut saya FDS memang tidak cocok diterapkan di Indonesia,” Jelasnya lagi. (*)
Editor: Romandhon