NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Anggota DPR RI pro pemerintah dan opisisi selama ini dikenal di parlemen Indonesia di tengah negara yang disebut-sebut menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Tapi, ribut-ribut soal siapa yang bakal menjadi oposisi kini juga tengah ramai diperbincangkan di ruang publik, terutama pasca Jokowi terpilih kembali sebagai presiden.
“Politisi dan elite yang suka ngomong oposisi dan DPR pro pemerintah itu elite dan politisi below standard. Di konstitusi UUD 1945 yang mengatur kekuasaan kita, tidak mengenal partai oposisi dan partai pemerintah. Karena itu, dalam sistem demokrasi kita tidak dikenal sistem parlementer,” kata Waketum Gerindra, Arief Poyuono, Jakarta, Sabtu (20/7/2019).
Arief menegaskan, Gerindra dalam menjalankan politiknya tunduk dan patuh terhadap konstitusi.
“Karena itu, semua anggota legislatif dari semua parpol harus berada di luar pemerintahan dan tugas mengawasi, mengkritik, membuat UU dan mengkontrol jalannya pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin,” kata dia.
Dia menuturkan, elite politik dan pengamat yang gemar bicara soal adanya oposisi atau anggota legislatif pro pemerintah dalam konteks demokrasi di Indonesia bentuk dari lemahnya pengetahuan mereka tentang konstitusi RI. “Dan (mereka) ingin menciptakan oligarki kekuasaan,” sebutnya.
“Jika ada kader parpol yang ditaruh di pemerintahan, mereka tidak mewakili parpol lagi tapi menjalankan pemerintahan,” sambung Arief.
Dia menjelaskan, sejatinya anggota DPR (legislatif) mulai dari pusat hingga kabupaten dan kota harus selalu berseberangan dengan pemerintah (eksekutif).
“Yang namanya anggota DPR dari mulai pusat hingga kabupaten dan kota ya harus selalu berseberangan dengan pemerintah untuk menjadi pengawas jalan pemerintahan dan mitra kerja pemerintah,” katanya.
DPR, seperti fungsinya, kata dia, adalah mewakili suara rakyat, bukan suara pemerintah.
“Namanya juga Dewan Perwakilan Rakyat ya harus mewakili suara rakyat, bukan suara pemerintah, di mana pemerintah punya tugas ngurus negara dan rakyat yang harus diawasi oleh DPR,” jelasnya. (eda/ach)
Editor: Eriec Dieda