ArtikelBerita UtamaKolom

Indonesia di Antara Sekuler dan Mitos

NusantaraNews.co – Sebuah Negara yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengalami perubahan besar secara alamiah mana kala rakyat sudah tidak merasa tertindas, yang sejatinya menjadi warga Negara yang tertindas. Dengan kebebasan individunya akan mencapai puncak kejayaan liberalisme-humanisme sekarang, yang ada adalah kumpulan massa passif dan jinak, yang bukan saja secara sosial submisif tunduk patuh terhadap tatanan sosial yang menindasnya tetapi hidup secara Programable.

Kita disebut sebagai warga negara yang telah “Merdeka” dan apabila masih merasakan belum merdeka maka kita akan menangkalnya dengan kata kata dalam tahap proses atau mengisi “pembangunan”. Sadarkah dengan simbol dua kata ini sebenarnya kita tertindas. Kehidupan kita sebenarnya telah diatur, diadministrasikan dan dikendalikan oleh negara. Sedangkan harta kekayaan yang sebenarnya telah dicuri oleh inflasi. Untuk memahami kondisi kita yang lebih jernih secara gamblang bahwa proses pembangunan sebenarnya proses penindasan dimana dalam era modern kali ini sebenarnya adalah masa gelap dalam kehidupan umat manusia. Kenapa saya katakan begitu karena cara kita hidup telah melawan fitrahnya dan cara ini tidak bisa bertahan selamanya dimana saat ini kita telah berada dalam masa senjakala.

Masa jeda atau interegnum, masa kehidupan tanpa kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab sekarang ini, akan berakhir secara alamiah. Sebuah Konsekwensi logis juga kita akan menerima yaitu zaman Baru yang akan membentuk dan Membangun Generasi baru akan menyingsing, sekaranglah senjakala negara bangsa. Bahwasannya kita akan memasuki dan tengah berada dalam ambang keruntuhan demokrasi. Peristiwa ini harus kita sambut dengan merestorasi kehidupan masyarakat yang sesuai dengan fitrahnya, sebuah nomos yang dilhami panduan illahi dengan perantara Agama, Adat dan Pancasila dalam Kebhinekaan yang Tunggal Ika dalam konteks Nusantara.

Revolusi Perancis adalah peristiwa yang menginstitusionalisasi dan mengabsahkan sistem riba dan kapitalisme. Itulah yang terjadi dibelahan dunia barat, sedangkan dibelahan timur peristiwa serupa berlangsung dengan diakhirinya daulah Utsmani. Melalui teknik yang sama yaitu pengenalan dan pemaksaan uang kertas dan pemberlakuannya menjadi sistem riba atau utang berbunga yang bermuara pada terbentuknya “Republik Turki”. Terjadilah trasnformasi pemerintahan menjadi negara, yang selalu diikuti dengan transformasi perdagangan menjadi riba. Negara adalah penyatuan pemerintahan dan perbankan. Selanjutnya “Gerakan Kebangkitan Nasional” yang diikuti lahirnya satu persatu negara-negara bangsa pada abad 20 termasuk lahirnya NKRI adalah pengukuhan sistem baru yang menindas bangsa bangsa baru diwilayah wilayah pinggiran antara lain Kepulauan Nusantara yang kaya raya.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Tahap Penindasan Neokolonialisme

Pertama, Para pelaku memberikan kemerdekaan politik dan memberikan kehormatan kepada mantan mantan kaum terjajah sebagai bangsa nasional baru yang sejajar dengan bangsa bangsa lain didunia. Nomos Nusantara dicincang cincang menjadi belasan negara nasional melalui batasan geografis artificial: Kesultanan Patani menjadi bagian dari Thailand, Kesultanan Kelantan sampai Tamasek menjadi bagian dari malaya, Kesultanan Aceh sampai Raja Ampat menjadi bagian dari Philipina, Sementara kaum muslimin Nusantara di Vietnam, Kamboja, dan Burma tercerai berai dan berdarah darah menjadi minoritas yang tertindas, bahkan era modern saat ini minoritas rohingnya dibumi hanguskan Demikian pula Nomos Utsmania dicincang-cincang menghasilkan negara negara bangsa di Timur Tengah dan Afrika-lybia, Aljazair, Maroko, sudan, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, syria, Iraq dan Iran, dan seterusnya yang kemudian masuk dalam jebakan Komunisme-Sosialisme. Dan Nomos Moghul dianak Benua India tercabik-cabik menjadi minoritas disebuah negeri penyembah batu dan gajah.

Demi status dan kebanggan baru ini, pada tiap-tiap bangsa merdeka tersebut, dibangun mitos-mitos dan ritus-ritusnya sendiri secara seragam; lagu kebangsaan, bendera nasional dan konstitusi. Maka di Paris, diawal abad ke 20 ditengah gerakan kemerdekaan dan nasionalisme, hidup subur toko toko suvenir dan vandel yang menjual jasanya bagi keperluan ini dengan menerima pesanan aneka desain bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara, komplit dengan slogannya. Segala tetek bengek artefak budaya ini boleh saja beragam ragam, tapi tidak dalam esensinya, yakni “dipisahkannya Gereja dengan Negara.” Ini kata sandi lain lagi ditundukkannya gereja dibawah negara; dengan doktrin doktrin turunannya; Toleransi yang bermakna Intoleransi agama atau Kebebasan yang berarti pemberangusan agama-agama. Mitos-mitos Revolusi Perancis; Liberty, Egality dan Fraternity menjadi mantra sesembahan baru. Kita menyebutnya sebagai proses Sekularisasi. Pada titik ini Konstitusi telah menggeser Wahyu illahi, Rasionalisme menggantikan eksistensialisme.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Dalam perjalanan sejarah politik selama 100 tahun terakhir dalam episode yang disemangati oleh nasionalisme dalam ikatan konstitusionalisme kita telah menyaksikan jatuh bangunnya pemerintahan diberbagai Negara. Satu rezim yang runtuh digantikan oleh rezim baru, sampai pada gilirannya rezim itupun runtuh dan digantikan kembali oleh rezim yang baru lagi, silih berganti. Baik itu terjadi secara damai melalui proses pemilihan umum, maupun secara berdarah darah melalui kudeta atau pemberontakan bersenjata.

Kasus kasus mutakhir dapat disebutkan disini: Iraq, Siriah, Sudan, Mesir, Afganistan, lybia dan lain lain semua mengalami pergantian rezim tanpa perubahan bermakna. Bangunan dasarnya tetap bertahan. Sumber kekuatan politik itu sendiri yakni sistim financial ribawi yang menyokongnya tidak pernah tersentuh. Presiden atau perdana menteri, serta kelas politisi lainnya yang datang silih berganti, tak lebih hanya melayani kekuatan yang tetap sama: Oligarki Bankir International. Saddam Hussain, Hosni Mubarak, Moammar Ghadafi bahkan Soeharto atau Goerge Bush dan Tony Blair boleh pergi, dengan atau tanpa kekerasan tetapi sistem tetap tak berganti.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Tandatangani MoU Dengan BP POM Tarakan

Kedua, “pendefinisian bangsa-bangsa baru” sebagai bangsa terbelakang, miskin, berpenyakit dan bodoh ” Afrika bahkan ditetapkan sebagai the lost Continent dan penduduknya, dengan meminjam dongen khayal charles darwin yang terkenal dengan teori evolusi darwin masih ingatkan kita waktu SD, SMP dan SMA dengan teori itu? dinisbatkan sebagai kemungkinan the missing link, makhluk peralihan dari monyet ke manusia. Asia, Amerika Latin dan Afrika adalah dunia ketiga. Maka mesti merdeka mereka adalah kaum tak beradab dan karena itu didorong dan dibujuk rayu ntuk menjadi bangsa maju, dus butuh pembangunan. Teori darwin pun menjadi mata ajaran wajib disekolah-sekolah yang pernah kita alami bersama. Maka selain ilusi psykologis gelora nasionalisme, diwariskan kepada para bangsa baru itu dua sihir lain yakni uang kertas dan bank sentral – sebagai pengganti bedhil, meriam serta serdadu-serdadu beserta gubernur Jenderalnya.

Tahapan dan teknik penindasan selanjutnya adalah yang mengangkangi sumber daya bangsa yang akan mencabik-cabik NKRI. Bagaimana cara kita melawannya dan solusi bangsa bagaimana menuju Indonesia yang benar-benar mengulangi Kejayan Bangsa sebagai bangsa bahari sesuai kodrat pencitaannya bukan jargon politik, bukan kepanjangan Neolib dan Kapitalis? Bagaimana Negara telah menyimpang jauh dari cita-cita founding fathers, terutama amandemen UUD 1945 yang syarat kepentingan? Bagaimana tata negara yang sesuai dengan kultur bangsa Indonesia? Siapakah Pemuda Gembala dalam jangka Uga Siliwangi, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu dalam Jangka Ronggowarsito dan Putra Batoro Endro dari lereng Lawu dan bengawan di hilir sebelah timur dlm jangka Jayabaya? Saatnya akan tiba kelud sudah memulai, sinabung masih berlangsung dan Agung siap memuntahkan dan akan disusul 6 lainnya, Some day in Nine?

Penulis: Mbah Salim

Baca: Tulisan Mbah Salim yang lain di Sini.

Related Posts

1 of 50