Terbaru

INDEF Ungkap 5 Hal Penyebab Indonesia Beresiko Jadi Negara Gagal

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peneliti INDEF, Bhima Yudistira Adhinegara mengungkapkan 5 (lima) hal yang menjadikan negara Indonesai beresiko menjadi negara gagal. Hal ini diungkapkan Bhima saat mengisi acara Coffee Warning bertajuk “Menghadapi Ancaman Keruntuhan Peradaban Bangsa” di Jakarta Media Center, Minggu (9/4/2018) akhir pekan lalu.

Hal pertama, kata Bhima, persoalan daya beli masyarakat. Nilai tukar petani anjlok sehingga daya terkoreksi, upah riil buruh tani turun 3% artinya pendapatan buruh tani terkoreksi terus dengan inflasi. Daya beli masyarakat tidak turun menurut pemerintah yang katanya beralih atau shifting ke online adalah fatal. Faktanya e-comerce bahwa jual beli online hanya 1%, 80 % lebih yang belanja di pasar tradisional dan sisanya adalah belanja di pasar modern.

“Revolusi industri 4.0 di Indonesia belum terjadi dan belum ada investasi robotisasi Indonesia, sehingga investasi masuk sektor jasa bukan sektor manufaktur, e-comerce, fintech, transportasi online, yang terjadi adalah revolusi jasa tidak ada penyerapan tenaga kerja. Jadi, penyerapan tenaga kerja menurun, daya beli masyarakat tertekan, konsumsi rumah tangga dibawah PDB. Hal ini indikasi negara dapat mengalami failed state,” jelas Bhima.

Baca Juga:  Pastikan Program Internet Mandiri, Kun Wardana Kunjungi National Cybersecurity Connect 2024

Kedua, peroalan Hutang. Bhima mengatakan, 31% penerimaan pajak habis untuk membiayai bunga dan cicilan pokok hutang, yang tiap tahun kita harus 480 triliun cicilan pokok plus bunga hutang. Artinya bila hutang kita makin membengkak, secara nominal bertambah lebih dari 1000 triliun dalam 3 tahun terakhir maka yang akan terjadi adalah ruang fiskal makin sempit, APBN makin terkuras untuk bayar hutang.

“Padahal pembayaran hutang adalah melalui pajak, impikasinya pajak pasti dinaikkan. Sampai 2050 data dari kementrian keuangan, kita masih ada tanggung jawab untuk membayar hutang jatuh tempo,” hematnya.

Persoalan ketiga ialah masalah import. “Banyak mal administrasi terkait impor oleh menteri perdagangan oleh BPK,” ujarnya di acara yang diinisiasi Komnas RIM dan ILEW tersebut.

Sedangkan yang keempat adalah persoalan ketimpangan. Ketimpangan pasca reformasi tahun 2000, ungkapnya, rasio gini 0,3 sekarang tahun 2017 0,39. Dari Forbes 50 orang terkaya di Indonesia, 9 orang pribumi muslim. Bagaimana hal ini tidak menjadi persoalan sara, konflik horisontal sehingga keluar lagi isu minoritas mayoritas.

Baca Juga:  Guyuran Hujan Deras, Ratusan Loyalis Illiza-Afdhal Gairahkan Tempat Debat

Kelima, sambung Bhima, persoalan stabilitas keuangan. Saat ini adalah tahap paling fatal. Pemerintah hanya mendengarkan suara investor, tidak mendengar rakyat yang mengkritisi kebijakan pemerintah saat ini. Bahwa stabilitas sistem keuangan Indonesia dari lembaga kredit rating internasional bahwa kredit rating surat hutang piutang kalau selama ini kita hanya fokus pada hutang pemerintah adalah salah besar.

“Resiko terbesar yang berbahaya adalah hutang BUMN karena investor mencermati kesana. Infrastruktur tidak cukup dengan APBN dan hutang pemerintah, sehingga dipaksa harus berhutang baru dengan nama-nama keren seperti komodo bond,” tegas Bhima.

Ia menambahkan, akibat terjadinya percepatan, malah berdampak pada kinerja keuangan yang turun, cash flow dari BUMN Karya rata-rata dari 4 BUMN karya minus 3 triliun tahun 2017 statistik di bursa. Kalau BUMN mengalami gagal bayar akan menimbulkan maka akan menciptakan efek tidak langsung kepada BUMN karena hutang tadi akan ditanggung oleh APBN.

“Dari warning tersebut diatas akan menjad sangat berbahaya karena riskan rerjadi failed state,” tandas Bhima.

Baca Juga:  Burundi Reiterates Support for Morocco's Territorial Integrity, Sovereignty over Sahara

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,051