Ekonomi

Impor Kerbau, Awal Matinya Sektor Pertanian di Tanah Air

NUSANTARANEWS.CO – Rasanya bak disambar petir ketika membaca berita Daging Kerbau yang dipesan oleh pemerintah melalui Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah mulai berdatangan ke Jakarta dan masih akan terus masuk hingga akhir September 2016. Adapun kuotanya yakni mencapai 10.000 ton. Padahal konsumsi daging kerbau berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tidak merata seperti konsumsi daging sapi.

Awal mulanya impor daging kerbau ini sebenarnya semenjak pemerintah berupaya menegaskan tugas fungsi Bulog yang berfungsi untuk melakukan stabilisasi bahan pangan salah satunya harga daging sapi ditanah air. Kemudian pihak-pihak tertentu yang tentunya diuntungkan akan adanya impor ini, membisiki presiden Joko Widodo agar membuka impor daging kerbau. Salah satu yang dijadikan alasan adalah agar masyarakat menengah ke bawah mampu menikmati daging.

Padahal jika ditelisik lebih lanjut konsumen daging yang mengonsumsi daging adalah masyarakat yang sama, misal seperti para pedagang Nasi Padang, Bakso, dan masyarakat lainnya. Mereka selalu mengonsumsi daging setiap harinya guna memenuhi kebutuhan mereka. Permintaan akan naik jika ada segerombolan konsumen bertambah, biasanya segerombolan konsumen akan datang ke pasar membeli daging di hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal, dan perayaan lainnya. Maka dari itu diharapkan masuknya daging kerbau impor asal India ini bisa memenuhi kebutuhan masyarakat menengah ke bawah akan daging.

Adapun cara pikir yang digunakan yakni ‘Bila ada pilihan dan pasokan lebih banyak di pasaran, maka masyarakat bisa membeli daging atau jeroan yang lebih murah. Dengan demikian harga daging sapi yang saat ini masih tinggi dan dikuasai oleh sebagian pelaku usaha saja bisa turun.

Saat baru-baru impor ini digaungkan dan mendapatkan respon negatif bayak pihak. Namun respon negatif itu menjadi reda, salah satu alasan yang dibisikan kepada Jokowi dan digunakannya untuk menenangkan masyarakat adalah semua impor yang dilakukan ini adalah solusi jangka pendek untuk menekan harga.

Pertanyaannya apakah benar solusi ini merupakan jangka pendek?

Baca Juga:  Panen Bunga Sedap Malam di Pasuruan, Khofifah Sebut Petani Milenial Jatim Tertinggi di Indonesia

Orang merokok terus kecanduan dan susah dihentikan, yah ibarat seperti itulah impor daging kerbau ini. Alih-alih untuk menekan harga dalam jangka pendek, eh malah berkelanjutan. Akibatnya swasembada yang digaungkan Jokowi saat Pilpres mati perlahan. Kali ini penulis mencoba mencontohkannya kepada produk-produk elektronik dari China yang membludak di Indonesia dan sulit untuk dibendung pemerintah. Serbuan produk China tidak lain karena harganya yang cukup terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

Akibatnya serbuan produk China ini menghantam industri dalam negeri. Berdasarkan Hasil survei Kementerian Perindustrian menyimpulkan pemberlakuan ASEAN-China Free Agreement (ACFTA) telah menciutkan pasar produksi produk-produk dalam negeri.

Produk elektronik asal China yang terlaris adalah jenis laptop dan telepon seluler (ponsel). Total nilai impornya Rp 52 triliun di tahun 2011. Laptop dan ponsel mendominasi produk impor tersebut.  Impor laptop memberikan kontribusi terbesar yakni sekitar 1 miliar dolar AS atau (Rp 9 triliun) atau naik 15,04 persen dari hasil tahun 2010. Dan impornya masih akan naik. Akibatnya impor produk China langsung membanjiri pasar lokal lantaran belum adanya tameng pelindung non tarif dan juga industri dalam negeri mengalami penurunan penjualan, merosotnya keuntungan hingga pengurangan tenaga kerja.

Hasil survei lain juga menyebutkan perilaku pedagang di Indonesia lebih suka menjual produk buatan China daripada menjual karya anak negeri. Ini ditengarai sebagai penyebab penurunan produksi domestik. Namun, dari sisi kualitas, survei itu menunjukkan kualitas produk dalam negeri lebih unggul di bandingkan produk China karena produk alam negeri menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Sementara banyak produk China yang tidak memiliki SNI walaupun kaya inovasi dan kreasi.

Kondisi ini semakin memperparah perkembangan industri manufaktur di dalam negeri. Pasalnya, biaya produksi industri dalam negeri terus saja melonjak

lantaran kebijakan pemerintah seolah tidak mendukung perkembangan industri dalam negeri. Selain itu ongkos produksi membuat produk elektronik menjadi tiak efisien. Sehingga kalangan pebisnis condong mengimpor produk dari China yang murah. Industri di China memang sudah terbilang maju. Pemerintah disana memberi insentif dan ditunjang infrastruktur yang memadai. Proses pengalihan teknologi pun bisa dilakukan dengan cepat.

Baca Juga:  Aliansi Transportasi se Jatim Pastikan Sumbang Suara Tebal Cagub Khofifah di Pilgub

Sebenarnya Indonesia bisa melakukan itu asalkan sudah ada industri penyangga, industri komponen dan ketersediaan bahan bakunya. Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan pemerintah terhadap industri ini dan memanfaatkan sumber daya yang ada. Masuknya produk elektronik asal China, semakin memperparah perkembangan industri manufaktur di dalam negeri. Pasalnya biaya produksi industri dalam negeri terus saja melonjak lantaran kebijakan pemerintah seolah tidak mendukung perkembangan industri dalam negeri.

Kekalahan produk dalam negeri juga di akibatkan karena infrastruktur yang minim. Konsumsi dalam nnegeri yang meningkat mengakibatkan mudahnya pasar di isi oleh produk China. Pertumbuhan impor selalu lebih besar daripada ekspor. Namun semua harus perlu antisipasi khususnya untuk menghadapi kemungkinan melemahnya permintaan dari dunia Internasional.

Sebenarnya Indonesia bisa melakukan hal serupa, asalkan sudah ada industri penyangga, industri komponen dan ketersediaan bahan baku. Serbuan barang-barang impor dari China ke Indonesia sudah merajalela dan menekan industri dalam negeri. Pengusaha mengeluhkan lemahnya sikap pemerintah dalam menangani masalah ini. Buktinya saat ini Indonesia dirugikan dengan banjirnya barang dari China. Pemerintah tidak memikirkan industri kecil yang terkena dampak langsung dari perdagangan bebas dengan China. Akibatnya produk Indonesia tidak akan bisa menang di era MEA ini.

Jika melihat contoh di atas bagaimana produk China merangsek Indonesia, bukan tidak mungkin hal tersebut pun akan terjadi di sektor pertanian kita. Dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan spesifiknya daging dalam negeri karena ingin harga yang murah, Indonesia mengimpornya dari negara produsen pangan. Akibatnya selain membanjirnya bahan pangan dari impor, hal tersebut justru mematikan usaha pertanian di negeri ini.

Indonesia memang pasar yang seksi bagi dunia, karena hampir seluruh masyarakatnya berprilaku konsumtif. Harusnya pemerintah justru bisa memanfaatkan itu dengan meningkatkan produk dalam negeri.

Baca Juga:  Pengentasan Kemiskinan di Madura, Inilah Cita -Cita Luman Menang Pilgub Jawa Timur

Untuk sektor pertanian misalnya pemerintah bisa saja memberikan insentif bagi peternak sapi rakyat di Tanah Air. Insentif itu bisa berupa subsidi guna meringankan biaya produksi peternakan di rantai pembibitan (breede, diantaranya dengan menggratiskan biaya inseminasi buatan (suntik kawin). Di sektor peternakan, pembibitan merupakan rantau paling tinggi risikonya namun rendah profit.

Pemerintah terkadang selalu menganggap enteng bahwa biaya produksi peternak rakyat terlihat murah karena mereka tidak menghitung biaya untuk rumput, tenaga kerja, dan kandang. Padahal untuk memproduksi 1 ekor anak sapi, peternak pembibit harus mengeluarkan biaya minimal Rp 5 juga. Biaya itu untuk perawatan 1 ekor anak sapi dan 1 ekor induk sapi selama 14 bulan, dan pada saat yang bersamaan dibutuhkan 14 bulan bagi induk sapi untuk bisa beranak lagi. Sementara itu, potensi kemampuan sapi indukan berproduksi hanya sekitar 80%. Apabila pembibitan mempunyai 100 ekor indukan, yang menghasilkan anakan hanya 80 ekor.

Selanjutnya peternak pembibitan kecil akan mengeluarkan dana lagi sekitar Rp 7-8 juta untuk membesarkan setiap ekor anak sapi. Tahap pembesaran pedet sapi berukuran 300-350 Kg butuh waktu selama 1,5 tahun. Sapi bakalan tersebut kemudian dibeli perusahaan peternakan sapi potong. Setelah tahap penggemukan sekitar 4 bulan, barulah sapi-sapi tersebut siap dipasarkan. Dengan biaya penggemukan Rp 3 jura per ekor selama 4 bulan, bobot sapi tersebut naik sekitar 1,3 Kg.

Jadi yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah sadarlah pemerintah untuk tidak terlena dengan harga yang murah dengan melakukan impor. Karena itu akan sangat menyakiti hati rakyat, khususnya para peternak kecil kita di tanah air.  Usaha mereka akan mati perlahan, karena keegoisan pemerintah yang lebih mementingkan impor. Negara ini bukanlah tempat sampah yang bisa menampung seluruh produk dengan harga murah dan low quality. Jika masyarakat menginginkan harga yang murah, berikanlah mereka subsidi misalnya dengan memberikan subsidi kepada para peternak, kemudian bangunkan infrastruktur guna menopang distribusinya. (Restu)

Related Posts