NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Salah satu persoalan pokok di hadapi Indonesia adalah impor beras. Kebijakan ini merugikan kaum petani dalam negeri.
Impor beras diduga untuk kepentingan kaum kapatalis rente kartel yang sudah lama bercokol di Indonesia. Mereka juga diduga bekerjasama dengan elite partai politik tertentu. Kapitalis rente ini bagai benalu, bergantung hidup dan menggrogoti uang negara. Dalam referensi hal ihwal korupsi, kapalis rente ini menjadi salah satu pelaku korupsi sandera negara.
“Terkait persoalan pokok kebijakan Kementerian Perdagangan tentang impor jutaan beras ini, sesungguhnya masih tanggungjawab Presiden Jokowi,” kata Muchtar Effendi Harahap, Peneliti NSEAS, Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Di bidang perdagangan, Menteri Perdagangan sendiri hanyalah sebagai pembantu Presiden Jokowi. Kewenangan pemutusan kebijakan impor beras tetap secara penuh di tangan Jokowi. Kalau pun Menteri Perdagangan memutuskan kebijakan impor beras, hal itu atas pemberian kewenangan oleh Jokowi sebagai Presiden RI.
Lalu, persoalan aktual dan publik tentang impor beras oleh Menteri Perdagangan, mengapa Jokowi diam saja, tidak ambil sikap? “Padahal masalah impor beras ini sudah pada tingkat konflik kelembagaan pemerintahan,” ujarnya.
Muchtar menjelaskan, dari aspek kelembagaan kekuasaan negara level nasional di era Jokowi ini terjadi lagi kegaduhan atau konflik terbuka di publik antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang di-back up Menko Perekonomian Darmin Nasution, berhadap-hadapan dengan penolakan impor oleh Dirut Bulog Budi Waseso (Buwas) dan data Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
“Sungguh untuk menjawab vokal persoalan ini mudah saja. Rizal Ramli sudah jawab. Tapi berujung urusan sengketa hukum dengan Partai Nasdem,” ucapnya.
Namun, kata dia, dalam realitas obyektif, tidak mudah. Sebab, kebijakan impor beras bukan soal kebijakan publik untuk kepentingan negara dan rakyat. Tapi, sudah dominan kepentingan kelompok pengusaha kapitalis rente di Indonesia.
“Akibatnya, publik termasuk pakar ekonomi seperti Rizal Ramli dan lain-lain yang alturistik protes keras terbuka di publik terus menerus,” paparnya.
Menurutnya, makna persoalan impor beras ini yang terpenting bisa dijadikan bukti dan memperkaya data atas kesimpulan; kondisi kinerja Jokowi buruk dan gagal di bidang perdagangan; Jokowi ingkar janji kampanye Pilpres 2014 lalu. Sebab, eks walikota Solo itu berjanji tidak akan impor beras lagi. “Ingkar janji bisa bikin dosa buat Jokowi,” cetusnya.
Berikut ini data, fakta dan angka membuktikan telah empat tahun Jokowi menjadi Presiden RI, gagal mengurus pemerintahan di bidang perdagangan.
Pertama, di dlm dokumen Nawacita, Jokowi berjanji akan melakukan renovasi atau revitalisasi sebanyak 5.000 pasar tradisional umur lebih 25 tahun. Empat tahun Jokowi berkuasa, versi data Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita baru 1.000 pasar terealisir atau 35% dari target 3.000 lokasi untuk 3 tahun. Atau hanya 20% dari target 5.000 lokasi untuk 5 tahun.
“Ini bukti, kinerja Jokowi buruk dan gagal. Tahun 2018 ini diperkirakan sangat terbatas kemajuan realisasi. Rezim Jokowi tenggelam hal ihwal impor beras jutaan ton,” ungkap Muchtar.
Kedua, Jokowi sendiri memberi tiga tugas kepada Mendag Enggartiasto Lukita. Antara lain meningkatkan ekspor dan menjaga neraca perdagangan. Jokowi mengakui, kondisi badan perekonomian Indonesia memang sedang lemah. Terdapat masalah dalam fundamental ekonomi Indonesia. Yakni defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan. Juga, Jokowi mengakui, ekspor Indonesia masih jauh di kawasan ASEAN. Bahkan kini ekspor Vietnam telah mengalahkan Indonesia.
“Nilai ekspor Thailand telah mencapai US$231 miliar, kemudian disusul Malaysia US$184 miliar dan Vietnam US$160 miliar. Sedangkan nilai ekspor Indonesia saat ini baru sekitar US$ 145 miliar. Ini fakta, negara sebesar kita ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta, dengan resource, dengan SDM yang sangat besar kita kalah,” ujarnya.
Ketiga, BPS merilis nilai ekspor dan impor pada Juli 2018. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia tembus US$16,24 miliar atau tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga, defisit neraca perdagangan Juli 2018 mencapai US$2,03 miliar.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan Juli merupakan terparah dalam 5 tahun terakhir, atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini (hingga Juli 2018), defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,1 miliar. Menurut Sri Mulyani, defisit neraca perdagangan di Juli dan Agustus 2018 ini masih belum berkurang, masing-masing US$2,03 miliar dan US$1,02 miliar.
Keempat, saat kampanye lisan Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan secepatnya mewujudkan swasembada pangan dan lepas jeratan dari impor beras, daging, garam, dan komoditas lainnya.
“Janji ini ternyata masih belum ditepati. Terakhir memang Jokowi bertindak, tetapi sekedar menengahi perseteruan Budi Waseso dengan Enggartiasto Lukita. Padahal agar tidak ingkar janji kampanye Pilpres 2014, Jokowi harus menyetop impor beras itu sendiri. Sungguh Jokowi tidak ada upaya tepati janji. Empat tahun usia rezim Jokowi,” bebernya.
Impor beras justru besar-besaran. Bukannya berhenti, bahkan bertambah jutaan ton. Tragis. Bukti kebijakan sungguh-sungguh ingkar janji kampanye Jokowi. Apakah aktor seperti ini layak lanjut jadi presiden lagi?,” ucap Muchtar.
Kesimpulannya, selama empat tahun rezim Jokowi berkuasa, kondisi kinerja urusan pemerintahan di bidang perdagangan tergolong buruk dan gagal memenuhi janji kampanye, dan gagal meraih target rencana.
Kegagalan Jokowi di bidang perdagangan ini adalah persoalan pokok bagi rezim Jokowi. Menurut Tim Studi NSEAS, isu impor beras era Jokowi ini hanya isu ikutan dari gelombang isu jauh lebih besar yakni kegagalan rezim Jokowi di bidang perdagangan. (gdn/anm)
Editor: Gendon Wibisono