Berita UtamaRubrikaSpiritual

HUT DKI Jakarta Ke-492 dan Makam-Makam Kramat

Para peziarah di Makam Luar Batang. (Ilustrasi)
Para peziarah di Makam Luar Batang. (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta- Hari Lahir Jakarta sampai sekarang masih menjadi tanya besar bagi sebagian orang, di tengah kesibukan hari-hari terakhir bulan Syawal dan Jakarta Fair yang berlangsung pada 26 Juni-24 Juli 2019 di Jakarta Convention Centre, Kemayoran. Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair adalah pameran tahunan terbesar di Indonesia. Walaupun dinamai “pekan raya”, biasanya berlangsung selama satu bulan penuh dari pertengahan Juni sampai pertengahan Juli untuk memperingati hari jadi kota Jakarta. PRJ pertama diadakan pada tahun 1968.

Pameran yang berlangsung selama sebulan, hingga 30 Juni mendatang, itu diikuti oleh 2.700 perusahaan peserta dan meliputi 1.500 stand.Mereka akan memamerkan berbagai produk unggulan dengan diskon khas Jakarta Fair. Namun, pengunjung Jakarta Fair bukan cuma kesempatan membeli produk unggulan dengan harga diskon.

Panitia menyiapkan berbagai kegiatan dan hiburan menarik selama berlangsungnya pameran. Tunggu apa lagi?

Untuk masuk ke arena pameran Jakarta Fair 2019 di JIEXPO Kemayoran, setiap pengunjung diwajibkan membeli tiket. Harga tiket bervariasi pada hari-hari tertentu.Menurut informasi yang dilansir situs resmi Jakarta Fair di www.jakartafair.co.id, harga tiket masuk disesuaikan dengan hari buka.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memimpin upacara peringatan HUT DKI Jakarta ke-492 tahun. Dalam sambutannya, dia menyinggung soal wajah baru Jakarta, yang terlihat maju dan berwajah kebahagiaan. “Perubahan yang dicapai adalah wajah baru sebagai kota kebanggaan Indonesia yang baru, modern dan tidak melupakan kebudayaannya serta terlihat maju dan warganya berwajah bahagia,” demikian kata Gubernur Anies.

Perhelatan Harlah Jakarta tentu sangat istimewa, merunut ke belakang jauh sebelum Sunda kelapa menjadi Jayakarta pada sekitar 492 tahun yang lalu, atau tepatnya 22 Juni 1527 lalu di mana atas peran R Fatahillah yang tidak lain adalah putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon,menaklukan Sunda Kelapa dengan kemenangan telak (Fath Jayakarta) atas pendudukan Portugis. Di kemudian hari, Jayakarta populer menjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Namun ada hal yang menarik dari masa Betawi tempo dahulu, di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta, juga dikenal sebagai kota “religius”– terutama karena di ibu kota RI ini terdapat banyak makam para ulama besar dan waliullah.

Jakarta banyak menyimpan memori sejarah. Bukan hanya sejarah perjuangan politik, tapi juga sejarah dakwah. Selain memiliki beberapa masjid tua dan antik bernilai sejarah tinggi, dan masjid-masjid baru dengan arsitektur modern, Jakarta juga “menyimpan” banyak makam keramat para waliullah atau ulama-ulama besar.

Pada hari-hari tertentu, masjid maupun makam-makam keramat tersebut sering diziarahi ratusan kaum muslimin. Baik peziarah domestik maupun asing. Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat, misalnya, atau masjid tua seperti Masjid Kebon Jeruk di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, juga Masjid Jembatan Lima di Jakarta Barat. Begitu pula Masjid Luar Batang di Jakarta Utara dan Masjid Kwitang, Jakarta Pusat.

Pada bulan Maulud atau Rabiulawal, ribuan orang berziarah ke sana. Teristimewa di malam Jumat, masjid-masjid itu penuh oleh peziarah yang datang dan pergi sejak pagi hingga malam hari. Bahkan di bulan Ramadan, di antara mereka ada yang bermalam di sana. Terutama karena di kompleks Masjid Luar Batang terdapat makam seorang wali, yaitu makam Habib Husain bin Abubakar Alaydrus, sementara di kompleks Masjid Kwitang terdapat makam ulama besar, Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi.

Baca Juga:  Ramadhan Berbagi, Pemdes Rombasan Santuni Anak Yatim dalam Peringatan Nuzulul Qur'an

Ziarah tradisional itu juga merupakan kesempatan bagi para pedagang untuk meraup rezeki Allah. Mereka berjualan berbagai macam dagangan, mulai dari buku-buku agama, mukena, sajadah, busana muslim dan muslimah, tasbih, minyak wangi, makanan dan minuman, sampai mainan anak-anak.

Makam Luar Batang

Tidak terlalu sulit untuk mencapai makam Luar Batang, karena letaknya tak jauh dari kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dari Beos, nama populer untuk Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, Anda bisa mengendarai ojek dengan ongkos murah, antara Rp 4.000 sampai Rp 10.000. Kalau Anda mengendarai mobil pribadi, atau membawa rombongan dengan kendaraan bus, bisa melewati Jalan Muara Baru, Jakarta Utara. Tempat parkir di makam itu cukup luas. Bahkan di sana juga tersedia penginapan dengan fasilitas memadai.

Ini adalah makam Habib Husain bin Abubakar Alaydrus, yang biasanya diziarahi orang setiap malam Jumat Kliwon. Makamnya terletak di sebuah serambi di sebelah kiri masjid. Almarhum adalah mubalig, ulama, dan wali yang hidup pada abad ke-18. Jumlah peziarah semakin meningkat, terutama pada bulan Syawal, yang merupakan haul Habib Husain, dan bulan Maulud, saat peringatan Maulid Rasulullah SAW. Makam itu diselimuti dengan kelambu putih itu. Habib Husain wafat pada hari Kamis 17 Ramadan 1169 H (24 Juni 1756), pada usia 32 tahun.

Di makam yang lebih dikenal sebagai Makam Kramat Luar Batang itu juga terdapat makam sahabat seperjuangan dan orang kepercayaan Habib Husain bernama Abdul Qadir yang berdarah Cina.

Makam Kramat Koja

Di kawasan Koja, Tanjungpriok, Jakarta Utara, terdapat sebuah makam yang dikeramatkan, dikenal penduduk sebagai Makam Kramat Koja. Itulah makam Al-Imam Al-‘Arif Billah Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Hadad. Letaknya sekitar 300 meter dari Rumah Sakit Koja, di samping Pelabuhan Peti Kemas. Habib Hasan lahir di Ulu, Palembang, Sumatra Selatan, pada 1870 M/1291 H.

Sejak kecil belajar pengetahuan agama kepada ayah dan kakeknya, di usia remaja ia belajar ke Hadramaut. Sepuluh tahun kemudian, 1880, ketika ia pulang ke tanah air, kebetulan rakyat Banten tengah mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan banyak ulama yang dikejar-kejar Belanda. Di antaranya ada yang menyelamatkan diri ke Palembang dan mendapat perlindungan Habib Hasan.

Pada 1899, ketika berusia 29 tahun, Habib Hasan berlayar ke Jawa untuk berziarah ke makam para wali, seperti Habib Husain Alaydrus di Luar Batang (Jakarta Utara), Sunan Gunung Jati di Cirebon (Jawa Barat), dan Sunan Ampel di Surabaya (Jawa Timur). Rupanya inilah perjalanan terakhir baginya. Ketika sampai di Batavia, kapal yang ditumpangi pecah. Ia wafat dan jenazahnya dimakamkan oleh penduduk di Kampung Koja.

Sekitar 23 tahun kemudian, pada 1922, makam itu tergusur oleh pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh Belanda. Ketika jenazahnya diangkat, ternyata masih utuh dan berbau harum.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Di kompleks makam ini juga terdapat beberapa makam keluarga Habib Hasan, seperti Habib Zen bin Muhammad Al-Haddad (adik kandung), Habib Ahmad bin Zen Al-Haddad (kemenakan), Habib Ali bin Zen Al-Haddad, Habib Muhammad bin Abdul Qadir Al-Haddad, dan lain-lain.

Makam Kramat Kampung Bandan

Ada tiga makam di sekitar Masjid Al-Mukarramah, Kampung Bandan, di tepi Jalan Lodan Raya, Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Ini adalah makam Habib Muhammad bin Umar Al-Qudsi (wafat 23 Muharam 1118 H/1698 M), Habib Ali bin Abdurrahman Ba’alwi (wafat 15 Ramadan 1122 H/1702 M), dan Habib Abdurahman bin Alwi Asy-Syathri (wafat 18 Muharam 1326 H/1906 M), pendiri Masjid Al-Mukarramah.

Masjid yang berdiri di tanah seluas 700 meter persegi itu teduh, karena dikelilingi pepohonan yang rimbun. Namun, karena masjid tidak memiliki lahan parkir yang luas, para jemaah harus parkir di tepi Jalan Lodan. Pada bulan Maulud dan Syakban, menjelang Ramadan, ribuan kaum muslimin berziarah ke sana.

Makam Habib Ali Kwitang

Namanya Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi, tapi lebih dikenal dengan julukan Habib Ali Kwitang – karena rumah dan makamnya di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Lokasinya di sebelah selatan Toko Buku WaliSongo. Untuk mencapai makam tersebut, dari Terminal Bus Senen atau Stasiun Kereta Api Senen, Anda cukup jalan kaki.

Menyusuri kawasan Kwitang seperti menyusuri kawasan pondok pesantren. Di Jalan Kembang VI di kawaan Kwitang itu, misalnya, berdiri megah Masjid Riyadh, sementara di sekitarnya beberapa toko kitab. Ini adalah kompleks Islamic Centre Indonesia (ICI). Di kompleks itu pula terdapat makam Habib Ali Kwitang.

Habib Ali lahir di Kwitang, Minggu 20 Jumadilawal 1286 H (20 April 1870). Hampir semua ulama Betawi pernah berguru kepadanya. Muridnya, yang kemudian menjadi ulama besar, antara lain K.H. Abdullah Syafi’ie, K.H. Thahir Rohili, K.H. Noer Ali. Habib Ali Kwitang berpulang ke rahmatullah pada hari Minggu, 20 Rajab 1388 H (13 Oktober 1968), dalam usia 102 tahun.

Makam Pangeran Jayakarta

Kota Jakarta (dahulu Jayakarta) didirikan oleh Pangeran Jakerta alias Jayakarta. Makam ulama dan pahlawan ini terletak di kawasan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Untuk menuju ke kompleks makam ini, Anda bisa menggunakan mikrolet dari Terminal Kampung Melayu yang melewati Jatinegara. Dahulu kala, Jatinegara (“negara sejati”) merupakan ibu kota yang didirikan oleh sang Pangeran, setelah ia hijrah dari Jakarta Kota – yang kala itu diduduki oleh VOC Belanda.

Peninggalan Pangeran, antara lain, Masjid As-Salafiah dan sebuah tasbih besar yang tergantung di masjid tersebut. Di kompleks makam ini terdapat beberapa makam Pangeran, pengikut, dan keluarga. Misalnya, lima petinggi Kerajaan Jayakarta, seperti Pangeran Achmad Djakerta, Lahut Djakerta, Soeria bin Pangeran Padmanegara, dan Pangeran Sageri beserta istrinya, Ratu Rapiah Putri. Selebihnya makam keluarga dan kerabat keturunan Pangeran Jayakarta.

Baca Juga:  Reses Anggota DPRD Nunukan: Mendapat Aspirasi Peremajaan Truk Angkutan Pelajar

Makam Al-Hawi Condet

Ada sebuah kompleks makam para ulama dan habaib terkenal, dikenal sebagai Al-Hawi, terletak di kawasan Condet, Jakarta Timur. Habib karismatik yang dimakamkan di sana, antara lain, Habib Zain bin Abdullah Alaydrus, Habib Salim bin Jindan, Habib Ali bin Husein Alatas, Habib Umar bin Hud Alatas, dan lain-lain.

Habib Zain bin Abdullah Alaydrus lahir di As-Suweiry, dekat Tarim, Hadramaut, pada 1289 H/1869 M. Ketika berusia 12 tahun, yakni pada 1301 H/1881 M, ia hijrah ke Indonesia disertai saudara-saudaranya, seperti Alwi, Ahmad, dan Ali. Di Batavia, ketika itu ia bertemu pamannya, Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus, dan mengaji kepadanya. Selain itu, Habib Zain juga mengaji kepada Habib Utsman bin Yahya, yang ketika itu juga menjadi mufti Batavia.

Habib Zain adalah salah seorang di antara sejumlah ulama yang mendirikan madrasah yang pertama kali di Jakarta, yaitu Jamiat Khair, pada 1322 H/1902 M. Selang beberapa tahun kemudian, ia mendirikan sebuah madrasah kecil di Jakarta Kota, di kawasan yang kini disebut Jalan Gajah Mada. Tapi, ketika bala tentara Jepang menginvasi Indonesia, sekolah tersebut terpaksa ditutup. Empat tahun kemudian, 1326 H/1906 M, ia mendirikan sebuah majelis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta Utara, yang kemudian ramai dihadiri jemaah.

Sepeninggal pamannya, Habib Muhammad, Habib Zain menjadi imam di Masjid Al-Mubarak, sekaligus mengajar ilmu tafsir, fikih, akidah selama 70 tahun sampai ia wafat dalam usia 110 tahun. Ia wafat pada hari Sabtu, 24 Rabiul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 15.00.

Adapun Habib Salim bin Jindan lahir di Surabaya, 18 Rajab 1324 H (7 September 1906). Semula ia mengaji kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, Bogor (yang terkenal sebagai Habib Empang); Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso; K.H. Cholil bin Abdul Muthalib, Bangkalan, Madura (Kiai Cholil Bangkalan); dan Habib Alwi bin Abdullah Shahab, Tarim, Hadramaut.

Pada 1940 ia pindah ke Jakarta, lalu membuka majelis taklim dan berdakwah ke berbagai daerah di Indonesia. Ia adalah seorang orator, dengan hafalan yang kuat dan pengetahuan agama yang luas. Di rumahnya terdapat sebuah perpustakaan yang diberi nama Al-Fakhriah. Ia wafat di Jakarta pada 10 Rabiulawal 1389 H (27 Juni 1969).

Makam Habib Kuncung Kalibata

Ada seorang ulama, yang juga habib karismatik, yang nama panggilannya unik: Habib Kuncung. Dialah Habib Ahmad bin Alwi Al-Hadad. Julukan itu konon karena semasa hidupnya ia selalu mengenakan peci tarbus Turki ala Abu Nawas yang berkuncir, berkuncung. Makam Habib Kuncung terletak di sebelah Masjid At-Taubah, Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan.

Ulama, mubalig, dan waliullah ini masih keturunan ke-40 Rasulullah SAW. Semasa hidupnya ia juga dikenal sebagai pedagang keliling di beberapa daerah Nusantara, seperti Batavia, Makassar, bahkan juga sampai ke negara manca, Singapura. Ia wafat sekitar tahun 1922.

Pewarta: Aji Setiawan
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,165
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand